* Bercerita tentang Sejarah Musik Minang dari Masa ke Masa
Sexri Budiman (foto Rizal Tanjung)
Laporan : RIZAL TANJUNG
Dalam diskusi musik yang di laksanakan oleh Forum Perjuangan Seniman Sumatera Barat 29 Januari 2025 di Galery Taman Budaya Sumbar, pencipta banyak lagu Minang, Sexri Budiman memaparkan pengalamannya dan sejarah musik Minang dari masa ke masa.
Dalam paparannya Sexri Budiman mengatakan bahwa Musik Minang telah melalui perjalanan panjang yang penuh dengan inovasi dan perkembangan, dari era Orkes Gumarang hingga transformasi digital di era media sosial. Salah satu pencipta lagu Minang yang turut menyaksikan perubahan besar ini adalah Sexri Budiman, seorang komposer produktif yang dikenal dengan lagu terkenalnya, Marawa.
Awal Mula Musik Minang Modern
Musik Minang modern dimulai dengan hadirnya Orkes Gumarang pada tahun 1955 yang dipimpin oleh Asbon Madjid. Musik ini mengusung Latin Beat sebagai ciri khasnya dan menjadi pelopor musik nusantara. Dalam periode 1960-an, musik Minang semakin berkembang dengan munculnya Orkes Kumbang Cari, yang melahirkan bintang-bintang seperti Ely Kasim dan Nuskan Syarif.
Menariknya, pada era 1955-1974, produksi musik Minang berpusat di Jakarta, dan hampir tidak ada alat musik tradisional yang digunakan dalam rekaman. Barulah pada tahun 1975, saluang mulai digunakan dalam album Ely Kasim, menandai kembalinya unsur tradisional dalam musik Minang modern.
Booming Rekaman di Kota Padang
Pada 1970-an hingga 1980-an, industri rekaman musik Minang mengalami perkembangan pesat di Padang, yang sebelumnya hanya didominasi oleh Jakarta. Grup musik Lime Stone dengan lagu Sarunai Aceh menjadi tonggak awal keberhasilan rekaman di Sumatera Barat, diikuti oleh munculnya banyak produser seperti Antara Baru Record, Medisca Record, dan USB Record.
Pada 1978, Tanama Record, yang awalnya berbasis di Jakarta, memindahkan operasionalnya ke Padang dan berkembang pesat. Era ini melahirkan musisi dan penyanyi berbakat seperti Asben, Melati, Buslider, dan Ujang Virgo.
Puncak Keemasan Musik Minang
Periode 1990-an disebut sebagai "Puncak Emas Lagu Minang", ditandai dengan kesuksesan album Kasiak 7 Muaro yang diciptakan oleh Ausli Taher, Fery Zein, dan Zalmo. Album ini tidak hanya mempengaruhi selera musik masyarakat, tetapi juga memicu munculnya lebih dari 42 produser rekaman di Sumatera Barat. Kesuksesan ini juga melahirkan berbagai organisasi musik seperti DPD-PAPPRI Sumbar, ASIRINDO, PARMI, FORKASMI, dan HIKASMI.
Era Digital dan Tantangan Baru
Setelah kejayaan Kasiak 7 Muaro, industri musik Minang mengalami perubahan besar. Teknologi digital dan media sosial seperti YouTube dan TikTok menggantikan produksi fisik seperti VCD, membuat para musisi lebih mandiri dalam berkarya.
Sexri Budiman, sebagai salah satu pencipta lagu Minang yang masih aktif hingga kini, melihat perubahan ini sebagai peluang sekaligus tantangan. "Perubahan teknologi ini memudahkan musisi untuk berkarya tanpa bergantung pada produser, tetapi juga berisiko menurunkan kualitas musik karena kurangnya kontrol terhadap nilai dan filosofi lagu," ujarnya. Menurutnya, lagu Minang bukan sekadar hiburan, tetapi juga mengandung nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau yang harus dijaga. "Kita tidak boleh melupakan akar budaya kita. Lagu-lagu Minang harus tetap menjadi bagian dari identitas dan kebanggaan kita," tambahnya.
Menatap Masa Depan Musik Minang
Ke depan, Sexri Budiman berharap musik Minang tetap berkembang dengan mempertahankan nilai budaya dan kualitas musikal yang tinggi. "Setiap perubahan membawa tantangan, tetapi juga peluang. Yang terpenting adalah bagaimana kita menjaga keseimbangan antara inovasi dan tradisi," tutupnya.
Seiring dengan perkembangan zaman, musik Minang terus mengalami transformasi. Namun, semangat para seniman seperti Sexri Budiman memastikan bahwa warisan budaya ini tetap lestari dan relevan bagi generasi mendatang.