Meningkatkan Peran Media untuk Menumbuhkembangkan Seni-Budaya

 Keterangan tidak tersedia.

Oleh YURNALDI

 

Fakta yang Memrihatinkan

            Media massa, khususnya media daring dan media elektronik televisi, belakangan ini manyambuah. Bak cendawan tumbuh. Jumlahnya meningkat pesat pascareformasi 1998 sampai sekarang. Hanya media cetak sejak satu dasawarsa terakhir berangsur berkurang, setidaknya berkurang jumlah halamannya dan pelanggannya. Kalau pun masih bertahan, halaman seni-budaya ditiadakan. Ada juga yang tutup, karena tak mampu lagi membiayainya. Gadang pasak daripada tiang.

            Kenapa halaman seni budaya hilang?

Di hampir banyak daerah tak banyak kepala dearah, bupati/wali kota/gubernur yang perduli dengan dunia seni-budaya. Karena tak ada aktivitas, ya, tak ada berita. Apalagi di kabupaten/kota tidak ada Dinas Kebudayaan yang bisa memfasilitasi. Begitu juga kelembagaan Dewan Kesenian, “dibunuh tanpa ampun” oleh kepala daerah. Tak ada lagi penelitian dan fasilitasi untuk kelompok-kelompok kesenian yang masih terus bergerak dan berkarya di masyarakat. Kalau pun ada fasilitas untuk seni-budaya, maka pasti saja ada kelompok kesenian bentukan baru, yang “dipimpin” istri kepala daerah. Mereka tampil di luar negeri atau di kota-kota besar di Indonesia.

Ada Dinas Pariwisata, seni budaya hanya sebagai kegiatan penyambutan tamu belaka. Anggaran banyak habis untuk itu dan untuk promosi, yang hasilnya juga masih dipertanyakan.

Dulu ada Medan Nan Bapaneh di Bukittinggi khusus menampilkan kesenian tradisional untuk wisatawan. Sejak 15 tahun terakhir, itu tak ada lagi. Kelompok seni tradisional yang biasa menampilkan 10-15 seni tradisional Minangkabau, tak lagi punya panggung. Sekarang nama kelompok seni tersebut sudah tak terdengar lagi.

Tragis memang. Jangankan untuk membina, menyediakan panggung gratis saja tak mampu pemerintah. Mereka dulu pentas dibebankan bayar uang kebersihan, pajak tontotan, dan segala macam. Demi perkenalkan seni-budaya Minangkabau, mereka –kelompok kesenian itu, hanya peroleh sekadar uang bedak dan gincu pemain saja. Lha, kok, perlakuannya seperti itu? Harusnya mereka difasilitasi dan tak perlu bayar sewa tempat (Medan Nan Bapaneh).

Kita punya fakultas seni dan perguruan tinggi seni, tentu ada dosen dan mahasiswa yang menekuni dunia seni (musik, teater, lukis, tari, kriya dan lainnya). Ada pertunjukkan, mereka haning-haning saja. Tak ada mengundang media. Tapi, memang, tak ada pula keharusan mengundang media. Mungkin ada ketakutan mengundang media kalau mereka pentas. Takut dikritik.

Sebaliknya, ketiga ada kegiatan seni oleh pihak luar kampus, pihak kampus pun seperti tak berselera datang menyaksikan. Makanya, kita di Sumatera Barat jarang sekali membaca catatan atau tulisan apresiasi dari mahasiswa seni dan/atau dosen seni, yang kalau kita lihat deretan gelarnya, pasti menandakan dia ahli/pakar di bidang seni.

Itu adalah sejumlah fakta yang tak terbantahkan, yang membuat kita prihatin dan kepada siapa mengadu?

            Karena keberadaan seni tak dianggap, penghargaan atas prestasi dan dedikasi di dunia seni di Sumatera Barat sangat kurang. Benar-benar menyedihkan.

            Dulu, dulu sekali, ketika saya banyak menulis sosok para seniman yang luar biasa, semisal Upiak Inyiak Palatiang, Mak Katik, Arby Samah, Ali Akbar Navis, Ery Mefri, Gus tf dan banyak yang lainnya, baru kemudian terpikirkan oleh pemerintah melalui Dewan Kesenian untuk memberikan penghargaan SAKATO. Artinya, hadiah diberikan setelah sosoknya diekspos KOMPAS.

 Buka FotoTulisan Yurnaldi tentang Sastrawam Ali Akbar Navis di harian KOMPAS.

            Sebagai wartawan saya senang dan bangga, berarti tulisan saya tentang seniman-budayawan mereka baca.

            Ketika aktivitas pertunjukkan seni – budaya jarang diekspos, perhatian dan kepedulian pemerintah pun kurang. Ketika seniman/sastrawan kita diundang tampil di luar Sumatera Barat, termasuk tampil di luar negeri, apa ada bantuan?

            Akan tetapi, kalau istri gubernur  dengan grup dadakan yang bawa tim kesenian ke luar Sumbar dan ke luar negeri, aggaran ada (tentu lebih dari cukup). 


Masukan untuk Program Nan Jombang

            Apa yang dilakukan Nan Jombang dengan keberadaan Ladang Tarinya, dan Museum Tarinya, saya menilai sangat luar biasa. Jauh lebih hebat dari program pemerintah Sumatera Barat di bidang seni. Namun demikian, harus ada peningkatan program dari tahun ke tahun.

            Bayangkan, tanggal 3 setiap bulan ada pementasan kesenian rakyat, kesenian tradisional dan seni kontemporer dari berbagai daerah. Program seperti ini yang seharusnya menjadi contoh, malah tak dilirik, eh, ditonton pejabat pemerintah. Juga minim ditonton kalangan kampus seni. Minim apresiasi. Apa masalahnya? Tahu sama tahu sajalah kita.

            Terkait peran media, bagaimana agar kegiatan seni-budaya banyak diekspos, sehingga bisa memunculkan penghargaan bagi masyarakat dan perhatian dari pemerintah, menurut saya Nan Jombang dalam programnya perlu sebagai berikut:

            Pertama, Program Workshop Menulis Esai/Feature Pertunjukkan Seni bagi Wartawan, Dosen, Penulis Seni dan mahasiswa Seni. Jika terbatas peserta, adakan seleksi, biar tampak keseriusan peserta.

            Boleh dikatakan, sehebat apa pun pertunjukan seni (tari, teater, sastra, seni rupa, musik, kriya) oleh kelompok seni, maka ketika tak  ada yang menulis/mengapresiasi dan memberitakannya, akan menjadi terasa sia-sia, sebatas mengibur diri sendiri saja. Lain halnya, kalau muncul laporan/berita/tulisan apresiasi di media massa, ada kesan mendalam dan kebanggaan yang luar biasa. Setidaknya publik tahu dan bertambah pengetahuan pembaca. Catatan wartawan/penulis/kritikus selain memperkaya khasanah pengetahuan pembaca, juga akan menjadi perjalanan sejarah  bagi kelompok/pelaku seni.

            Kedua, Workshop Fotografi /Video Pertunjukkan Seni bagi wartawan/penulis/konten kreator. Jadi selain untuk kepentingan publikasi di media massa (dan media sosial) sebagai foto berita dan/atau foto pendukung berita, juga bisa untuk esai foto seni pertunjukkan.

 Buka FotoSalah satu adegan Tari Asok Dalam Tungku, karya Ery Mefri. Penari Rio Mefri dan Angga Mefri. (Foto Yurnaldi/AjarDetik.com)

            Ketiga, agendakan tiap tahun Lomba Menulis Feature/Esai Pertunjukkan Seni bagi kalangan wartawan/umum. Sediakan hadiah yang lumayan, misalnya juara pertama Rp10 juta atau Rp7,5 juta. Kemudian juara kedua dan ketiga dengan nominal yang membuat penulis penuh semangat. Jika perlu sekalian lomba video. Karya yang dilombakan diharuskan tayang lebih dahulu di media massa dan media sosial/blog.

            Bisa dibayangkan, kalau setiap wartawan/penulis/kritikus kirim 6 tulisan, misalnya, dan ada pertunjukkan tiap bulan, serta setiap bulan ada 2-3 karya yang ditampilkan, jika ada 50 peserta, maka setiap bulan akan ada tulisan pertunjukkan, maka setiap bulan ada 100-150 tulisan. Belum lagi foto yang dilombakan maksimal 5 setiap pertunjukkan, akan ada ratusan foto muncul di fb, IG, atau video di tilktok dan youtube. Dampak positifnya akan dahsyat.

            Keempat, adakan Pameran Foto dan Foto Esai Seni Pertunjukkan sekali setahun. Foto-foto terbaik hasil lomba atau foto yang layak, dipamerkan kepada publik. Peminat fotografi sangat banyak, apalagi setiap orang sekarang punya telepon seluler yang berkamera canggih.

            Kegiatan worksop diadakan di awal-awal tahun dan lomba  menjelang akhir tahun. Pameran diadakan untuk tutup tahun.

            Kelima, Karya tulisan/foto pemenang atau 15-20 karya tulisan dan foto dan foto esai terbaik diterbitkan dalam bentuk buku. Buku-buku inilah yang akan menjadi bacaan di perpustakaan sekolah, perguruan tinggi, perpustakaan daerah/nasional,  dan Taman Bacaan Masyarakat. Ini sejalan dengan gerakan literasi nasional yang digalakkan pemerintah.

            Selamat untuk Nan Jombang Dance Company yang mengharumkan nama Sumatera Barat di pentas seni pertunjukkan di Indonesia dan mancanegara.

             Padang, 16 Januari 2025

-------------------------------------------------

@Yurnaldi adalah wartawan utama lulusan terbaik angkatan 22 Lembaga Pers Doktor Soetomo (LPDS) tahun 2013, seniman (pelukis yang sudah enam kali pameran dan fotografer yang lebih 10 kali juara lomba foto tingkat nasional dan sejumlah fotonya menjadi foto pilihan akhir tahun KOMPAS, serta foto utama halaman satu KOMPAS). Juga sastrawan (penyair Indonesia, pemenang sejumlah lomba penulisan puisi tingkat nasional, juri lomba puisi, dan telah membacakan puisi-puisinya di sejumlah kota, termasuk TIM, Jakarta). Penulis dan editor lebih 50 buku, mentor jurnalistik dan sastra. Tokoh literasi Sumatera Barat tahun 2018. Dalam 40 tahun kariernya, 16 tahun di antaranya mewarnai harian KOMPAS (1995-2011). Di KOMPAS, dia wartawan/editorial Desk KOMPAS Minggu dan Desk Humaniora, yang antara lain meliput pertunjukan seni-budaya di dalam dan sejumlah negera di Asia, Eropa, Afrika, dan Australia. Tahun 2002 mengikuti peretemuan penulis dunia di London, Inggris, bersama sastrawan Hamsad Rangkuti (alm). Tahun 2012 – sekarang, Pemimpin Redaksi sejumlah media cetak dan daring, antara lain Tabloid EDITOR, www.indeksnews.com., www.portalberitaeditor.com., www.buliran.com., www.marwahmedia.com., www.ajardetik.com., dan Pemimpin Umum ESSA TV (https://youtube.com/@essatv3049). Sebelumnya Wakil Pemimpin Redaksi harian Vokal (Pekanbaru), Pemimpin Redaksi Harian Vokal Sumsel (Palembang), Pemimpin Redaksi Harian Riau Hari Ini (Dumai), Konsultan Konten Media Haluan Media Grup, Penjabat Pemimpin Redaksi Haluan Kepri (Batam). Tahun 2004 bertugas di daerah konflik Aceh, Pernah disandera pasukan GAM, dilepas, dan kemudian bertemu Panglima GAM Ishak Daud minta melepaskan Ersa Siregar dan kameramen yang disandera sebelumnya.

==============================

*Pokok-Pokok Pikiran ini disampaikan di Forum Diskusi Terpumpun (FGD) yang diadakan Group Tari Nan Jimbang di Hotel Daima, Padang, 28 Januari 2025.

 

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال