Oleh BAGINDO ISHAK, SH., MH., CRDB., CRBC.
Bahasa sebagai Sistem Makna
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan cermin jernih yang memantulkan cara pandang sebuah bangsa terhadap dunia. Setiap kata adalah batu bata yang menyusun tembok peradaban, membawa warisan sejarah, ideologi, dan nilai-nilai yang membentuk masyarakatnya. Melalui bahasa, suatu budaya dapat membangun istana pemikirannya sendiri, melestarikan pandangan dunia, menjaga filosofi hidup, dan mengabadikan narasi kolektifnya. Namun, ketika bahasa digunakan sebagai palu penakluk, ia menghancurkan fondasi makna lokal dan meruntuhkan akar budaya yang telah lama berdiri kokoh. Bahasa adalah pedang bermata dua—mampu menjadi perisai pelindung peradaban atau cambuk yang menghancurkan hingga ke akarnya.
Ketika masa penjajahan Belanda di Indonesia, bahasa Belanda digunakan sebagai alat untuk mendominasi dan mengendalikan administrasi, pendidikan, serta kehidupan sosial di Indonesia. Bahasa lokal banyak yang terpinggirkan, dan hanya orang yang menguasai bahasa Belanda yang dapat mengakses posisi-posisi penting dalam pemerintahan dan ekonomi. Ini menunjukkan bagaimana bahasa bisa menjadi alat penakluk yang menghancurkan nilai-nilai dan budaya lokal yang telah ada sejak lama.
Bahasa sebagai Simbolisme dan Identitas Budaya
Bahasa adalah benteng terakhir yang menjaga keberadaan sebuah budaya. Ia berdiri tegak seperti mercusuar, menerangi identitas sebuah bangsa di tengah badai globalisasi. Di balik setiap ungkapan tersembunyi permata kearifan lokal, tak tergantikan oleh bahasa lain. Ketika sebuah bahasa punah, bukan hanya kata-kata yang hilang, tetapi juga jiwa yang melekat pada budaya itu—seperti pohon besar yang tumbang, akarnya tercerabut dari tanah sejarah. Tradisi, adat, dan ingatan yang terpatri dalam bahasa itu lenyap, meninggalkan kehampaan yang sunyi. Melestarikan bahasa adalah menjaga nyala api peradaban agar tidak padam, sebuah perjuangan melawan arus homogenisasi yang terus mengikis keragaman.
Seperti bahasa Welsh merupakan simbol kuat dari identitas budaya dan perlawanan terhadap dominasi bahasa Inggris. Pada abad ke-19, pemerintah Inggris melarang penggunaan bahasa Welsh di sekolah-sekolah, tetapi gerakan kebangkitan bahasa Welsh terus berlanjut hingga abad ke-20. Kini, Welsh dipromosikan kembali sebagai bahasa yang melambangkan kebanggaan budaya dan kearifan lokal.
Bahasa Visual dan Material
Bahasa memiliki dimensi yang melampaui suara dan tulisan. Ia menjelma menjadi ukiran di dinding sejarah, simbol di bendera, atau mantra yang berbisik di antara lempengan logam. Dalam wujudnya yang lebih konkret, bahasa menjadi jembatan antara yang tak terlihat dan yang nyata. Seperti perak dalam dunia "Babel", bahasa adalah medium yang membawa sihir, kekuatan tak kasatmata yang dapat menciptakan atau mengubah dunia. Sebuah simbol yang terukir atau pasangan kata tersembunyi adalah kunci yang membuka pintu kekuasaan. Bahasa melintasi batas imajinasi, bukan hanya menjadi sarana, tetapi juga fondasi material yang menopang peradaban.
Dapat dilihat bahasa Jepang tidak hanya terwakili dalam tulisan, tetapi juga dalam simbol-simbol budaya seperti bendera Jepang dan ukiran pada bangunan sejarah.
Bahasa sebagai Alat Kekuasaan Struktural
Dalam hierarki sosial, bahasa adalah mahkota tak terlihat yang dikenakan oleh penguasa. Kemampuan memahami dan mengendalikan bahasa tertentu menjadi tiket emas untuk masuk ke istana kekuasaan. Bahasa membangun dinding kasatmata, seperti kastil yang melindungi elit dari rakyat jelata. Di balik dinding ini, penguasa memahat kata-kata menjadi senjata, mengokohkan takhta mereka, dan menutup pintu bagi mereka yang tak fasih dalam bahasa yang berkuasa. Namun, bagi mereka yang berani, bahasa juga dapat menjadi kunci untuk meruntuhkan tembok ini.
Seperti Gerakan #MeToo yang dimulai pada tahun 2006 dan semakin berkembang pada tahun 2017 menunjukkan bagaimana bahasa dapat digunakan untuk menantang struktur kekuasaan yang ada. Dengan menggunakan tagar #MeToo, para korban pelecehan seksual mampu mengungkapkan pengalaman mereka dan mendesak perubahan dalam dunia yang sering kali menutup mata terhadap kekerasan dan ketidakadilan seksual.
Seperti kunci pas yang mengendurkan baut pada mesin tirani, bahasa dalam tangan yang tepat dapat memutarbalikkan struktur kekuasaan yang tampaknya tak tergoyahkan.
Padang, 11 Januari 2025.
______________
Tulisan ini terinspirasi dari novel karya R.F. Kuang "Babel: Or the Necessity of Violence: An Arcane History of the Oxford Translators' Revolution".
Novel yang dirilis pada tahun 2022, menggabungkan fantasi sejarah dengan kritik sosial yang tajam, membahas tema kekuasaan, kolonialisme, dan pengaruh bahasa dalam menciptakan atau meruntuhkan sistem sosial.