Oleh BAGINDO ISHAK, SH.,MH., CRBD.,CRBS
Kemiskinan, baik yang tampak di permukaan maupun terselubung, adalah cerminan dari sebuah tatanan yang rapuh. Ketika karyawan dan pegawai harus menghabiskan penghasilannya hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar dan terjebak dalam siklus konsumsi yang tak berujung, kita tak hanya berbicara tentang kurangnya materi, tetapi juga tentang terkikisnya harapan.
Kemiskinan terselubung, yang kini semakin menjalar, adalah jebakan modern yang dibangun oleh budaya materialisme. Keinginan untuk memiliki lebih banyak, didorong oleh akses mudah terhadap utang, menjadikan masyarakat mengorbankan masa depan demi memenuhi hasrat sesaat. Ketidaksadaran kolektif ini menciptakan krisis yang lebih dalam: kerentanan sosial yang menggiring pada jalan pintas, di mana korupsi, nepotisme, dan gratifikasi menjadi cara untuk bertahan.
Menurut Amartya Sen, ekonom dan filsuf peraih Nobel, kemiskinan tidak hanya dilihat dari kurangnya pendapatan, tetapi juga dari hilangnya kebebasan untuk mencapai fungsi dasar manusia. Dalam konteks ini, masyarakat yang terjebak dalam pola konsumsi dan utang yang berlebihan kehilangan kemampuan untuk mengembangkan potensi diri dan mengubah masa depan mereka. Oleh karena itu, kebijakan publik seharusnya tidak hanya memberikan bantuan materi, tetapi juga memberdayakan masyarakat untuk menciptakan nilai tambah.
Namun, apakah ini takdir yang harus diterima? Apakah ketimpangan ini terjadi semata karena upah tak mampu mengejar kebutuhan? Ataukah ini bagian dari skenario yang disengaja—di mana penguasa lebih memilih memberi bantuan langsung tanpa upaya signifikan untuk memberdayakan masyarakat?
Joseph Stiglitz, ekonom pemenang Nobel lainnya, menegaskan bahwa ketimpangan yang dibiarkan akan menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus. Ia menyarankan redistribusi kekayaan melalui kebijakan yang lebih adil, seperti pendidikan yang inklusif dan peluang kerja yang bermutu tinggi. Jika tidak, kemiskinan tidak hanya menciptakan penderitaan ekonomi tetapi juga merusak stabilitas sosial dan politik.
Sungguh berbahaya jika budaya permisif terhadap korupsi mulai dianggap lumrah. Ketika nepotisme dan gratifikasi sekadar dikemas sebagai "balas budi," nilai-nilai kebenaran bergeser, dan keadilan menjadi sesuatu yang terdistorsi. Korupsi bukan hanya soal mengambil uang negara dengan cara melanggar aturan; itu adalah penghancuran kepercayaan publik dan perampasan hak generasi mendatang.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Anthony Giddens, sosiolog terkemuka, modernitas dan kapitalisme sering kali menciptakan "jebakan gaya hidup," di mana masyarakat merasa tertekan untuk memenuhi standar hidup yang ditentukan oleh budaya konsumerisme. Dalam kondisi ini, literasi keuangan dan perubahan pola pikir menjadi langkah penting untuk membantu masyarakat keluar dari siklus konsumsi yang merugikan.
Kita tak boleh membiarkan sistem seperti ini terus berakar. Yang dibutuhkan adalah revolusi pemikiran dan tindakan. Bantuan langsung harus diimbangi dengan pemberdayaan konkret. Masyarakat perlu didorong untuk menciptakan nilai, bukan hanya menjadi konsumen. Pendidikan keuangan, peluang kerja yang bermartabat, dan penghargaan terhadap integritas adalah fondasi dari transformasi ini.
Mari kita ingat, perubahan besar selalu dimulai dari pemahaman kecil. Budaya kerja keras, kejujuran, dan solidaritas harus kembali menjadi roh bangsa ini. Masa depan tidak dibangun dengan materialisme dangkal, tetapi dengan visi yang menempatkan manusia dan nilai kemanusiaan di atas segalanya.
Saatnya kita bangkit dan berkata, "Cukup sudah." Kita berhak atas sistem yang tidak hanya memberi, tetapi juga mendidik. Kita layak untuk hidup di masyarakat yang lebih beradab, di mana harapan menggantikan ketakutan, dan kerja keras menjadi jalan untuk bermartabat.
Padang, 6 Januari 2025.