Oleh BAGINDO ISHAK, SH.,MH.,CRBD.,CRBC.
Dunia penuh dengan pahlawan kebajikan instan. Mereka yang dengan gemilang melangkah di atas panggung kehidupan, menebar senyum dan uluran tangan, bukan karena ingin meringankan beban orang lain, tetapi untuk memastikan kamera menangkap sudut terbaik wajah mereka. Mereka adalah maestro kebaikan transaksional, yang menakar setiap perbuatan dengan kalkulator sosial: berapa banyak dukungan, pujian, atau loyalitas yang bisa aku panen dari sini?
Kebaikan, katanya, harus diajarkan. Tapi entah bagaimana, pelajaran itu sering berubah menjadi seleksi alam. Bukan untuk semua, tentu saja, melainkan hanya bagi mereka yang cukup beruntung berada di lingkaran kecil kesetiaan. Ya, kebaikan kini tak lagi universal. Ia telah menjadi barang mewah yang didistribusikan hanya pada mereka yang "layak" menurut standar loyalitas yang sempit.
Dan di sini muncul fenomena baru: "kesombongan kebaikan". Sebuah seni halus untuk memastikan bahwa tangan kiri tahu persis apa yang dilakukan tangan kanan, apalagi jika tangan kanan itu sedang sibuk menghitung likes di media sosial. Kesombongan kebaikan ini bukan hanya tentang merasa lebih baik, tapi juga tentang memastikan orang lain tahu betapa baiknya Anda.
Bukankah ironis? Dalam usaha keras untuk terlihat baik, esensi kebaikan itu sendiri justru terkikis, meninggalkan jejak kehampaan yang dibalut senyum palsu. Tapi tak apa, selama terlihat baik di mata orang lain, siapa yang peduli pada niat?
Jadi, selamat datang di era di mana kebaikan bukan lagi tentang siapa yang membutuhkan, tapi tentang siapa yang menonton. Sebuah pertunjukan megah, di mana kebaikan hanyalah kostum, dan panggung sosial adalah satu-satunya yang benar-benar penting.
Prof. Michael Sandel, filsuf moral terkenal, menggambarkan ini sebagai “kapitalisme moral”. Menurutnya, masyarakat modern sering kali menjadikan kebaikan sebagai alat transaksi sosial. "Ketika tindakan baik menjadi komoditas untuk mendapatkan pujian atau pengaruh, kita tidak lagi berbicara tentang kebaikan sejati," ujarnya.
Sementara itu, Simon Sinek, penulis Leaders Eat Last, menyebut fenomena ini sebagai bagian dari “dopamin sosial”. Menurutnya, dorongan untuk berbagi kebaikan di media sosial demi pujian adalah akibat langsung dari kecanduan dopamin. “Ketika tindakan baik hanya dilakukan demi likes atau komentar, itu tidak akan memberikan dampak yang mendalam, baik bagi pelaku maupun penerimanya.”
Fenomena "kesombongan dalam balutan kebajikan" adalah refleksi dari masyarakat yang terlalu terobsesi pada citra diri. Kebaikan yang seharusnya menjadi wujud empati kini berubah menjadi alat untuk meraih pujian dan validasi. Akibatnya, esensi dari kebaikan sejati—yaitu membantu tanpa pamrih—sering kali terlupakan.
Namun, ini bukan berarti manusia sepenuhnya kehilangan kemampuan untuk berbuat baik. Dengan refleksi mendalam, pendidikan empati, dan praktik kebaikan anonim, kebaikan sejati dapat dikembalikan ke tempatnya. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Mahatma Gandhi, “Kebaikan dalam kata-kata menciptakan kepercayaan, kebaikan dalam pemikiran menciptakan kedalaman, dan kebaikan dalam memberi menciptakan cinta.”
Di era ini, penting bagi kita untuk mengingat bahwa kebaikan sejati bukan tentang siapa yang melihat atau memuji, tetapi tentang dampaknya bagi mereka yang menerima. Ketulusan adalah inti dari setiap tindakan baik. Karena pada akhirnya, kebaikan yang paling berarti adalah yang lahir dari hati, bukan dari kebutuhan untuk dipuji.
Padang, 8 Januari 2025.