Oleh BAGINDO ISHAK, SH.,MH.,CRBD,CRBC
Dalam dunia yang penuh kontradiksi, kemunafikan, dan kesenjangan moral, sering kali seseorang yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip kebaikan merasa terasing. Fenomena ini dikenal sebagai " kesepian moral ", sebuah kondisi di mana seseorang yang memilih untuk hidup dengan integritas moral dan nilai-nilai luhur mendapati dirinya berada di luar arus utama masyarakat. Kesepian moral bukanlah sekadar perasaan terisolasi, tetapi sebuah perjuangan batin yang mempertemukan idealisme dengan realitas dunia yang carut-marut.
Hakikat Kesepian Moral
Kesepian moral terjadi ketika seseorang merasa tidak dapat berkompromi dengan nilai-nilainya meskipun lingkungan sekitarnya menuntut hal tersebut. Dalam masyarakat yang sering kali mendahulukan kepentingan pribadi atau kemunafikan demi keuntungan, mempertahankan nilai-nilai moral sering dianggap sebagai tindakan yang "tidak realistis" atau bahkan "naif."
Sebagai ilustrasi, seorang individu yang menolak terlibat dalam praktik "korupsi"di tempat kerja mungkin menghadapi tekanan sosial, dijauhi oleh rekan-rekannya, atau bahkan kehilangan peluang untuk berkembang. Sikap ini bukan sekadar keberanian untuk mengatakan "tidak," tetapi juga kesanggupan menghadapi konsekuensi yang menyertai pilihan tersebut.
Namun, kesepian moral ini adalah sebuah perjalanan yang penuh makna. Seperti yang dikatakan oleh Viktor Frankl dalam bukunya Man’s Search for Meaning:
"Hidup tidak pernah menjadi tak tertahankan karena keadaan, tetapi hanya karena kurangnya makna dan tujuan."
Kesepian moral, meskipun sulit, sering kali memberikan rasa tujuan yang lebih besar bagi individu yang menjalaninya.
Kemunafikan sebagai Tantangan Utama
Kemunafikan menjadi salah satu elemen utama yang memperparah kesepian moral. Kemunafikan terjadi ketika seseorang bertindak bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka nyatakan, menciptakan jurang antara kata dan perbuatan. Dalam dunia yang carut-marut, kemunafikan menjadi alat untuk bertahan hidup, terutama di lingkungan sosial dan politik yang menuntut fleksibilitas moral.
Orang yang menolak untuk mengikuti kemunafikan ini sering kali dianggap sebagai "orang luar." Mereka mungkin dicemooh sebagai idealis yang tidak realistis atau bahkan menjadi sasaran ketidakpercayaan. Sebaliknya, individu yang memilih untuk menyesuaikan diri dengan kemunafikan cenderung mendapatkan keuntungan jangka pendek, tetapi kehilangan rasa keaslian diri mereka.
Dampak Kesepian Moral
Kesepian moral membawa dampak mendalam baik pada individu maupun masyarakat:
1. Pada Individu:
Individu dengan prinsip kuat sering menghadapi tekanan emosional dan sosial yang besar. Mereka mungkin merasa terisolasi, tetapi pada saat yang sama memperoleh ketenangan batin karena tidak mengkhianati nilai-nilai mereka.
Dalam jangka panjang, orang-orang seperti ini cenderung menjadi inspirasi dan teladan bagi perubahan positif.
2. Pada Masyarakat:
Keberadaan individu dengan kesepian moral adalah pengingat bahwa kebenaran dan integritas masih ada.
Mereka berperan sebagai agen perubahan, meskipun jumlah mereka sedikit.
Meskipun kesepian moral terasa berat, ada cara untuk menghadapinya.
Menemukan Komunitas Sejiwa:
Bergabung dengan orang-orang yang memiliki nilai dan prinsip serupa dapat mengurangi rasa keterasingan.
Meningkatkan Kesadaran Diri:
Menyadari bahwa kesepian ini adalah bagian dari perjalanan menuju sesuatu yang lebih bermakna.
Mengambil Inspirasi dari Tokoh Teladan: Tokoh seperti Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, dan Malala Yousafzai menunjukkan bahwa mempertahankan moralitas dalam situasi sulit bisa membawa perubahan besar.
Kesepian moral adalah harga yang harus dibayar oleh mereka yang memilih jalan kebenaran dalam dunia yang carut-marut. Namun, kesepian ini bukanlah akhir, melainkan langkah menuju keberanian, integritas, dan transformasi. Seperti yang dikatakan oleh Ralph Waldo Emerson:
"Untuk menjadi dirimu sendiri di dunia yang terus-menerus mencoba menjadikanmu seperti orang lain adalah pencapaian terbesar."
Dalam kesepian moral, ada kekuatan untuk memulai perubahan dan menunjukkan bahwa nilai-nilai kebaikan tetap relevan, bahkan di tengah kemunafikan.
Padang, 15 Desember 2024.
(Bagindo Ishak atau Muhammad Ishak adalah adalah aktivis kebudayaan dan kesenian. Sarjana Hukum lulusan Universitas Bung Hatta dan
Magister Hukum lulusan Universitas Andalas Padang, aktif di kegiatan Silat, baca Puisi dan Teater sejak belia sampai remaja, aktif dalam pementasan Teater dan Baca Puisi sejak tahun 1989 sampai dengan 1995 , tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta, dalam kelompok Teater Dayung Dayung pimpinan A.Alinde (alm) thn 1992 dan juga tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta ( TIM) dengan Bumi Teater Pimpinan Wisran Hadi (alm) tahun 1994 ,dan aktif pementasan teater di Taman Budaya SUMBAR dan kota lainnya, ikut dalam forum Pejuang Seniman Sumatera Barat (FPS-SB) , serta terlibat sebagai pembicara dalam Kelompok Kreator Era AI, Satu Pena SUMBAR, bekerja didunia perbankan selama lebih kurang 28 tahun sejak tahun 1996 sebagian dihabiskan menjadi Direktur Utama selama 20 tahun di beberapa Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di Sumbar dan mendirikan BPR milik Pemda Padang Pariaman pada thn 2007, sekarang sebagai Komisaris di samping Advokat dan aktif dalam kegiatan Kebudayaan dan Kesenian.)