Ciloteh Catuih Ambuih: Budaya Korupsi Evolusi Nilai atau Penyimpangan Akal Budi?

Buka Foto

Oleh BAGINDI ISHAK, SH.,MH.,CRBD.,CRBC

 

     Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, "budaya korupsi " seperti gulma liar. Ia tidak ditanam, tapi tumbuh subur; tidak disiram, tapi merajalela. Ironisnya, ia bahkan tak perlu dimajukan—seperti virus yang mutasinya lebih cepat dari "vaksin moral" . Apakah ini yang disebut "budaya"?         Budaya sejatinya adalah akumulasi pikiran luhur, akal budi manusia yang mencari jalan terang dalam gelapnya tantangan zaman. Namun, "budaya korupsi" ibarat air keruh dalam gentong yang terus saja diminum, meski pahit dan mematikan. Kita bertanya-tanya, apa yang salah? Apakah karena uang menjadi Tuhan baru? Atau karena kejujuran telah menjadi makhluk langka yang hanya hidup di buku dongeng? 

   Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan jelas tidak memasukkan korupsi sebagai artefak budaya yang layak dipajang di museum atau diarak dalam pawai tahunan. Tapi apa artinya undang-undang jika kejahatan ini tumbuh dari tanah subur kemunafikan, disiram oleh air materialisme, dan dipupuk oleh ketidakpedulian? Bukankah kita ini, sadar atau tidak, sudah lama menjadi " kurator budaya korupsi" ?     Ironi tragisnya, di tengah perayaan budaya luhur seperti gotong royong, seni tradisional, dan falsafah kebijaksanaan lokal, korupsi menjadi "tradisi gelap" yang sama lestarinya. Mungkin ini bukan evolusi budaya, tapi revolusi kebusukan. Dan seperti revolusi lainnya, ia dimulai dari individu, satu demi satu, hingga menjadi arus besar yang mencabut akar-akar moral. 

` Orang jujur kini bak " burung Dodo" yang nyaris punah, menjadi anomali di tengah hiruk pikuk pragmatisme. Ia dipandang aneh, bahkan seringkali dipermalukan. "Jujur? Untuk apa? Hidup harus licik kalau mau selamat." Begitu gumaman kecil yang entah bercanda atau serius, tapi terlalu sering kita dengar. 

    Jika "budaya korupsi" adalah cermin jiwa bangsa, maka refleksi itu mengerikan. Kita melihat wajah bangsa yang kehilangan integritas, seperti patung yang retak tapi dipoles agar tetap terlihat utuh. Mungkin ini saatnya kita berhenti berpura-pura dan menantang diri dengan pertanyaan: Apakah kita hidup di zaman akal budi atau akal bulus? 

    Budaya, pada dasarnya, adalah pilihan. Kita bisa memilih untuk merawat apa yang mulia, atau membiarkan keburukan menjadi kebiasaan. Jika korupsi terus berakar, jangan salahkan tanahnya—coba tanyakan pada petaninya: kita sendiri. 

    Padang, 5 Januari 2025.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال