Oleh YURNALDI
Sumatera Barat banyak melahirkan penulis, wartawan, dan sastrawan, tapi yang sempat diakui hebat oleh sastrawan Ali Akbar Navis atau lebih dikenal dengan nama AA Navis hanya seorang Harris Effendi Thahar. AA Navis tentulah bukan sastrawan sembarangan. Memperingati 100 tahun kelahiran AA Navis, sastrawan dan budayawan yang terkenal dengan karya Robohnya Surau Kami itu, oleh UNESCO hari kelahirannya diperingati sebagai hari libur dunia .
Tentang Harris Effendi Thahar yang diakuai hebat tersebut, terungkap ketika Harris, Sabtu (4/1/2025) di Auditorium Istana Gubernur Sumatera Barat, Jalan Sudirman, Padang, Sumatera Barat, menyampaikan “Obsesi Si Padang” dalam acara 75 Tahun Prof Harris Effendi Thahar “Si Padang” yang digelar Himpunan Media Sumbar (Hamas) Padang, dengan Ketua Isa Kurniawan, wartawan senior yang rutin menggelar acara penghargaan untuk seniman/sastrawan/wartawan.
“Saya sejak masih pelajar SMP 1 Solok sudah gemar membaca. Oleh guru bahasa Indonesia saya, Bustanul Arifin, atau lebih dikenal Pak BA, ditantang untuk membaca tiga buku seminggu dan kemudian menceritakan isi buku yang dibaca. Pak BA sering memuji tugas karangan saya,” kata Harris.
Namun demikian, karena pernah memecahkan kaca ketika main bola dalam kelas, Harris juga pernah dapat hukuman berdiri di depan kelas oleh Pak BA. “Saya bersama dua teman lain tertangkap basah, dengan ikhlas saya dan dua kawan lainnya terima hukuman bagai mematung di depan kelas selama dua jam, kala itu,” akunya.
Rupanya humuman mematung dua jam dirasa Pak BA belum cukup, sehingga disuruh datang ke rumah Pak BA pukul empat sore. Sampai di rumah Pak BA disuruh menghadap ke dinding yang terdapat almari panjang yang penuh dengan buku.
“Kalian harus baca semua buku di almari itu! Sanggup?” begitu perintah Pak BA sebagaimana ditirukan Harris. “Kami ketakutan dan terdiam. Saya mendegup air ludah, bahkan takut meminum teh yang terhidang di depan saya,” ungkap Harris.
Pak BA sempat perlihatkan buku Di Bawah Bendera Revolusi yang ditulis oleh Soekarno, Presiden RI waktu itu. Dan beliau mengatakan, “Nah, kalau mau menjadi orang pintar, kalian kelak harus mampu menulis buku setebal ini. Tapi, untuk menjadi pengarang buku, harus dimulai dengan banyak membaca. Sekarang, kalian boleh pilih buku untuk dibaca, masing-masing tiga judul. Tiga hari ke depan buku harus dikembalikan. Kalian harus bisa menceritakan kepada saya dengan ringkas tentang isi buku yang kalian baca. Harus bisa!”
Bagi Harris, apa yang diminta Pak BA bukan hukuman, malah hadiah untuk membaca buku-buku sastra yang belum pernah dia baca.
“Saya memilih tiga judul buku, masing-masing: Selamat Jalan Anak Kufur, kumpulan cerpen Utuy Tatang Sontani; Di Luar Dugaan, kumpulan cerpen Soewardi Idris; danTitian Dosa di Atasnya, novel karya Motinggo Busye,” kata Harris, anak Buya Thahar yang pensiunan dari PNS Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten Solok. Dan Harris kini Guru Besar di Universitas Negeri Padang.
Begitulah.
Wali Kota Padang terpilih Fadly Amran yang mau meninggalkan Auditorium, ketika Harris naik panggung ceritakan “Obsesi Si Padang”, menahan diri untuk tidak jadi pergi.
Harris melanjutkan ceritanya, bagaimana ketika ia menjadi mahasiswa jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur FKT IKIP Padang, terobsesi jadi pengarang. Sebab, kata Buya, begitu ia memanggil ayahnya, orang yang didengar suaranya ada empat macam. Pertama, orang kaya raya yang bisa membayar siapa saja untuk kepentingannya. Yang kedua, politikus ulung. Ketiga, orang cerdik cendekia atau cendekiawan. Mungkin ia seorang ilmuwan atau guru yang ilmunya tinggi dan dihormati. Yang keempat adalah pengarang terkenal. Meski pengarang tidak bertatap muka dengan pembacanya, tapi pembacanya membicarakan namanya dan meresapkan apa yang dikatakan pengarang yang dikaguminya.
Harris, kala itu, merasa mampu menjadi pengarang terkenal. Setiap pagi di kantin kampius, dia membaca koran Haluan.
“Diam-diam saya kirim cerpen dan puisi ke koran Haluan yang merupakan koran terbesar di Padang kala itu. Saya kirim melalui pos, meskipun dekat. Saya merasa malu datang ke kantor redaksi mengantarkan karangan kalau-kalau tidak dimuatr. Eh, ternyata karangan saya dimuat. Eh, saya terlambung sewaktu ada treman yang memuji cerpen saya,” tandas Harris memapatkan pengalaman mulai menulis karya sastra.
Pasca dimuat karangan tersebut, Harris mengaku menjadi lelaki muda yang selalu gelisah. Gelisah kalau belum menulis sesuatu untuk dipublikasikan.
“Saya cemburu berat ketika Ashadi Siregar menulis cerbung Cintaku di Kampus Biru. Akhirnya, saya juga menulis cerbung berlatar kampus, Setelah Impian Berlalu yang dimuat Haluan, 1971. Cerbung itu laris manis dibaca mahasoswa kampus saya. Honorariumnya saya belikan mesin kecil baru. Sebelumnya saya numpang-numpang mengetik di mana saja ada mesin ketik lagi nganggur, termasuk di TU fakultas,” kata Harris membuka kisah awal kepengarangannya.
Ketika Harris dengan grup diskusi Study Club Sastra Kerikil Tajam mengundang penulis terkenal AA Navis, Harris menguku merasa kecut oleh sindiran AA Navis.
“Kalau kalian masih menulis untuk lokal Sumatera Barat, itu belum pantas disebut sebagai sastrawan. Kita belum bisa duduk semeja. Baru boleh disebut sebagai penulis pemula, baru belajar menulis,” begitu Harris mengutip perkataan Navis.
Ucapan AA Navis itu membuat Harris terpicu kreativitasnya menulis untuk media nasional seperti koran Kompas, Pelita, Suara Pembaruan, Suara Karya, dan majalah sastra Horison dan majalah Basis.
“Cerpen saya yang dimuat pertama kali di Kompas edisi Minggu berjudul Damai. Dan setelah itu karya cerpen saya dimuat koran Suara Pembaruan dan Pelita. Sementara puisi-puisi saya dimuat majalah sastra Horison dan Basis,” papar Harris.
Sejak itu, Harris berani berhadapan dengan AA Navis. “Dia tertawa lebar sambil menepik nepuk pundak saya, sembari mentatakan,” Kamu hebat. Kamu termakan sindiran saya. Syukurlah, teman saya sesama sastrawan sudah bertambag seorang lagi, yaitu kamu. Kita sudah bisa duduk semeja.”
Mendengar ucapan AA Navis tersebut, Harris merasa teerlambung, dan optimis untuk benar-benar menjadi penulis.
Sejak itu, Harris yang yang juga menekuni dunia wartawan sembari menjadi pegawai negeri golongan IIb, menjadi lebih bersemangat. Apalagi kala itu ia sudah menikahi pacarnya, Meitra Azizi yang juga sarjana muda pendidikan bahasa Inggris dan telah menjadi guru PNS.
Menjadi wartawan membuat Harris berkesempatan mengiluti seminar-seminat kebudayaan,terutama kebudayaan Minangkabau di dalam dan luar negeri. “Di mana-mana saya jumpai orang Minang perantau dengan sterotipe yang sama. Betapa pun kerenya seorang perantau Minang di rantau, ia senantiasa tampil keren. Kalau perlu, rantai arlojinya disepuh emas, meski ia hanya seorang pelayan rumah makan atau pedagang kaki lima. Yang paling khas adalah keterampilannya menghota, atau bercerita, lebih-lebih kepada orang kampung yang baru datang seperti saya,” katanya.
Rupanya, pengalaman itu menjadi ide bagi Hariis untuk menulis cerpen “Si Padang”, yang dimuat Kompas tahun 1986, dan kemudian menjadi pembicaraan banyak orang di mana-mana.
“Cerpen Si Padang adalah cerminan masyarakat Minang yang berusaha mencari nama di rantau dengan cara apa pun untuk dijual di kampung dengan memanfaatkan peluang jadi Bupati atau Gubernur. Pada waktu itu di Sumatera Barat sedang heboh-hebohnya pergantian jabatan Gubernur dan Bupati, sehingga banyak perantau yang merasa mampu mencalonkan diri. Seperti halnya hasil penelitian Warnasen, cerpen itu juga banyak mendapat protes pembaca, terutama orang Minang. Beberapa minggu lamanya terjadi polemik di harian Kompas tentang cerpen “Si Padang”,” papar Harris.
Terlepas dari cerpen sebagai karya fiksi, menurut Harris yang meriah gelar sajana di IKIP Padang tahun 1994 di bidang Bahasa Indonesia dan master tahun 2000, serta meraih titel doktor dari Universitas Negeri Jakarta, lalu empat tahun kemudian dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Negeri Padang dalam bidang Pendidikan Sastra Indonesia, bagaimana pun ia lahir dari verminan masyarakatnya. Bagi saya, cerpen dapat dijadikan cermin, betapa pun buramnya manusia dapat melihat dirinya yang benjol-benjol.
“Begitulah dialektika budaya Minangkabau, selagi adat masih kukuh bertahan,ia merupakan sumber inspirasi anak-anaknya untuk selalu mempertanyakan dan menjinakkan terus menerus konflik-konflik yang timbul sepanjang zaman. Semua sudah tercermin dalam karya-karya Hamka, AA Navis, Darman Moenir dan seterusnya,” jelas Harris.
Harris yang sempat mengajar Sastra Indonesia di Universitas Tasmania, Hobart, Australia, dalam cerpen-cerpennya banyak menyoroti budaya dan masyarakat Minang. “Saya tetap terkurung dalam budaya Minangkabau yang benci: benar-benar cinta!,” tandasnya.
Harris Effendi Thahar pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat periode 2007-2010, dan cerpen-cerpen yang dimuat harian Kompas, hampir setiap tahun masuk buku cerpen pilihan Kompas: Kado Istimewa (1992), Pelajaran Mengarang (1993), Lampor (1994), Laki-laki yang Kawin dengan Peri (1995), Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997), Dua Tengkorak Kepala (2000), Beautiful Eyes (2001), Riwayat Negeri yang Haru, Cerpen Kompas Terpilih 1981-1990 (2006).
Buku Kumpulan cerpen Harris : Si Padang (2003), Anjing Bagus (2005), Arwana (2006)dan Rumah Ibu (2020). Sedangkan tulisan kolomnya diterbitkan dalam buku Kopi Rasa Bahagia (2020), Kiat Menulis Cerpen (1999).
Sebagai salah satu penyair angkatan 1970-an di Sumatera Barat, karyanya kumpulan sajak Lagu Sederhana Merdeka (1979).
Harris yang Sabtu lalu menerima Achievement Motivation Award dari Himpunan Media Sumbar (Hamas), diakui Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah sebagai sastrawan yang patut dicontoh dan diteladani generasi muda.
“Harris Effendi Thahar adalah sosok yang luar biasa. Akademisi yang terus aktif dan produktif menulis, serta melahirkan karya-karya sastra yang menumental, yang diakui secara nasional dan internasional. Juga menulis buku-buku yang bermanfaat untuk pembelajaran dan pengetahuan sastra di Indonesia,” kata Mahyeldi Ansharullah.
Perayaan 75 Tahun sastrawan dan akademisi Harris Effendi Thahar selain ditandai dengan pemotongan nasi tumpeng, juga pembacaan puisi oleh sejumlah penyair seperti Syarifuddin Arifin Andrea C Tamsin, Fauzul el Nurca, Mohammad Isa Gautama, dan Yeyen Kiram.
Andrea C Thamsin lagi baca puisi. (Foto Yurnaldi/AjarDetik.com)