Tari Sang Hawa, Kekhawatiran Maestro Tari Ery Mefri

Dua penari, Angga Mefri dan Rio Mefri dalam pentas tari Sang Hawa di Ruang Pertunjukkan Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, di Padang, Sabtu (21/12/2024) malam. (Foto Yurnaldi/AjarDetik.com)

Laporan YURNALDI

Tiba-tiba pentas kelam.Gelap Gulita. Penonton terdiam dan dua-tiga menit berselang menggema nyanyian ratapan. Memilukan dan betapa menyedihkan. Kemudian  seorang penari (Angga Mefri) dalam posisi kepala ke bawah dan kaki ke atas dengan gerakan yang dinamis jadi fokus penonton. Bahkan, beberapa lama kemudian kepala jadi pusat berpusing/putaran. Pusat semua gerakan.  Kemudian, seorang penari pria (Rio Mefri) bergerak pelan, menuju penari perempuan.

Sebuah gambaran interaksi ibu dan anak laki-laki. Melalui gerakan seolah terjadi dialog yang intim dan emosioal. Menggambarkan hubungan yang penuh suka dan duka dalam perjalanan hidup yang penuh tantangan, onak dan duri kehidupan. Penuh perjuangan, cinta, dan pengorbanan.

Bahkan, ketika penari pria mengucapkan kata “merantau” berulang-ulang sembari jalan berputar, mengambarkan sebuah fakta di mana lelaki Minangkabau harus merantau sesuai tuntutan filosofi hidup orang Minangkabau: “Ka Ratau Madang di hulu, Babuah babungo balun. Marantau Bujang dahulu, di kampung paguno balun”. Terbukti, merantau adalah bagian dari identitas laki-laki Minangkabau.

 

Nyanyian ratapan semakin mengiba selain gambaran sedihan dan kerinduan, juga secara tersirat menggambarkan dinamika musikalitas.  Kedua penari menjadi pusat perhatian dalam sorotan lampu warna biru dan merah. Gerakan silek yang lincah, bertenaga, dan sigap simbol kekuatan orang Minangkabau.

Begitulah gambaran singkat pertunjukkan Tari Sang Hawa karya Maestro Koreagrafer Ery Mefri  di ruang pertemuan yang disulap seadanya jadi ruang pertunjukkan di lantai empat Dinas Kebudyaan Provinsi Sumatera Barat, di kawasan Pantai Padang, Sabtu (21/12) malam.

Maestro Koreografer Ery Mefri pada diskusi seusai pertunjukkan. (Foto Yurnaldi/AjarDetik.com).

Sang Hawa adalah koreografi yang dibuat Ery Mefri tahun 2014 dan sebelum dipertunjukkan di Kota Padang, Sumatera Barat, sudah dipentaskan beberapa kali di sejumlah negara. Sang Hawa salah satu dari 100 lebih karya tari yang dikoreofragi Ery Mefri yang berbasis tradsi (silek, tari piriang, dan randai). Karya-karya Ery sudah pentas di panggung bergengsi di 43 negara di empat benua; Amerika, Asia, Australia, dan Eropa. Terakhir, Agustus 2024 Ery pentaskan karyanya di Taiwan.

Ery Mefri sebagai koreografer tahun 2016 sudah mendapatkan dua penghargaan dari Menteri Hukum dan hak Asasi Manusia berupa Anugerah Kekayaan Intelektual Nasional bidang Insan Kreatif di bidang Pengetahuan Tradidional dan Ekspresi Budaya Nasional, serta dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI berupa Anugerah Kebudayaan RI. Tahun 2023 Ery meraih Cultural Heritage Indonesia Award, kategori Maestro Tari Minangkabau.

Tari Sang Hawa adalah sebuah simbol betapa kedudukan perempuan di Ranah Minangkabau, Sumatera Barat, begitu agung dan istimewa. Oleh koreografer terkemuka Ery Mefri, perempuan digambarkan sebagai ibu dari semua manusia.

Dalam perjalanan menyelusuri waktu serta mengikuti perkembangan zaman, kedudukan perempuan sebagai ibu semakin melemah, apalagi bila dikaitkan dengan Minangkabau yang menganut paham Matrilinial. Banyak persoalan yang mengkawatirkan dan perlu dipikir ulang.

Penonton yang juga peserta diskusi seusai pertunjukkan. (Foto Yurnaldi/AjarDetik.com)

Menurut budayawan Rizal Tanjung, Ery Mefri dalam koreografinya menggambarkan transformasi pemikiran dan pandangan terhadap tari kontemporer.  Juga pemikiran dan pandangan tentang perempuan/wanita.

“Perubahan zaman yang membawa dampak pada semua aspek kehidupam, termasuk seni, menjadi gagasan utama dalam karya ini. Tari kontemporer bukan sekadar penguasaan teknik, tetapi juga penafsiran yang berkembang sesuai dinamika era/zaman,” ungkap Rizal Tanjung, seusai pertunjukkan.

Tari Sang Hawa yang diproduksi Nan Jombang Company dan sudah dipentaskan lebih dulu di sejumlah negara dan pertama kali dipentaskan di kampung halamannya, Padang, Sumatera Barat, menurut Rizal Tanjung terkenal dengan kemampuannya mengintegrasikan tradisi Minangkabau dengan pendekatan modern.

“Lewat Tari Sang Hawa, mereka mengajak penonton merenungkan kembali esensi tari, tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai medium untuk mengeksplorasi nilai-nilai baru dan cara pandang yang segar. Karya Ery Mefri ini mencerminkan upaya menyatukan elemen tradisional dengan konteks global, sehingga relevan dalam lanskap seni internasional. Motif gerak tradisional Minanglanau diolah dengan teknik stilisasi, menciptakan harmoni antara keaslian tradisi dan kebutuhan ekspresi tari kontemporer,” jelas Tanjung.

Menurut Rizal Tanjung, karya tari Sang Hawa dalam pendekatan yang digarap Ery Mefri dengan menghormati akar budaya lokal, sekaligus memperluas daya tariknya ke audiens global. Dalam konteks seni internasional, karya Ery Mefri menjadi istimewa karena menghadirkan identitas unik yang berperan dalam dialog lintas budaya.

“Stilisasi gerak tradisional menjadi jembatan penghubung antara kekayaan lokal dan modernitas. Gerakan ini memberikan makna baru pada narasi dan estetika tari, sehingga dapat diterima di panggung global tanpa kehilangan jiwa budaya asalnya,” jelas Rizal Tanjung yang juga aktor film dan tokoh teater di Sumatera Barat.

Pengamat Seni Budaya Minang Armunadi mengatakan, tari Sang Hawa adalah sebuah refleksi akan kekuatan, kompleksitas, dan peran perempuan. Inspirasi karya Sang Hawa berasal dari hubungan mendalam antara seorang ibu dan anak dalam tradisi matrilineal Minangkabau. Pada masyarakat Minangkabau memegang peranan sentral sebagai pemilik pusaka dan tempat pulang bagi anak anaknya.

“Dalam tari Sang Hawa karya Ery Mefri, pesan tersebut berkembang menjadi fefleksi universal tentang perempuan sebagai sosok yang penuh daya, mampu menjadi apa saja –ibu, pengasuh, tempat mengadu, dan bahkan obyek eksplorasi dari perjalanan hidup,” katanya.

Salah satu adegan dalam Tari Sang Hawa. (Foto Yurnaldi/AjarDetik.com)

Menurut Armunadi, adegan demi adegan memperlihatkan pergeseran peran perempuan. Dari sosok yang kuat dan menjadi tempat kembali, perempuan digambarkan berada dalam posisi yang semakin rentan, hingga mencapai titik di mana ia menjadi objek eksplorasi (perantauan), menggambarkan pergeseran peran perempuan dari subjek yang berdaya menjadi objek yang lemah.

 

“Ery Mefri dengan karya tarinya seolah ingin mengatakan, ‘Kita sudah kehilangan Bundo Kanduang’. Dalam budaya Minangkabau, perempuan memegang peranan sentral sebagai pemilik pusaka, tempat pulang, dan penjaga harmoni keluarga. Namun, modernitas, dengan segala dinamikanya, membawa tantangan besar, terutama dalam mempertahankan peran perempuan yang kuat tanpa tergerus oleh nilai-nilai yang melemahkan.”

 

Di sinilah letak kekuatan pesan implisit Ery Mefri. Ia tidak hanya menggambarkan perjalanan perempuan menuju kerentanan, tetapi juga mengajak kita untuk merenungkan bagaimana harmoni antara nilai tradisi dan modernitas dapat menjadi solusi untuk memperkuat perempuan.

 Buka Foto

Menurut Armunadi, Sang Hawa menunjukkan bahwa seni mampu menjadi jembatan antara lokalitas dan universalitas. Terlahir dari akar budaya Minangkabau, karya ini menembus batas etnisitas dan berhasil menyampaikan pesan yang relevan untuk audiens global.

 

Namun, di balik semua keindahan artistiknya, karya ini juga menghadirkan ruang kontemplasi: apakah kita, sebagai penonton, cukup peka untuk menangkap pesan mendalam di balik estetika gerakan dan koreografi? Tari Sang Hawa bukan sekadar pertunjukan, tetapi juga ajakan untuk merenung tentang peran, kekuatan, dan kompleksitas perempuan dalam kehidupan kita.*

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال