Senarai Karya A.A. Navis: Konteks Kebangsaan Masa Kini

 


Oleh:
Abdul Kadir Ibrahim

 

Bersamaan alunan nyanyian Minang oleh penyanyi Fauzana yang molek rupa dan suara, yang lagi ngetop dan viral di berbagai media sosial, tulisan senaraian tentang Karya A.A. Navis Konteks Kebangsaan Masa Kini, dimulai dan dituntaskan. Tentu tak sehari dua hari tulisan ini disipakan, melainkan berhari-hari. Semoga senaraian ini, tak kalah indah dan merdunya dibanding lagu-lagu Minang yang didendangkan Fauzana, sang Gadis Minangkabau. Membaca beberapa buku sebagai sumber dan menulis bak sedang berada dan terlena di  Ranah Minangkabau, Sumatera Barat, yang aduhai jauh pengenangan di masa lampau yang berjura-jura peristiwa suka-duka dan tentu gelegak sebagai anak bangsa: bangsa Indonesia. Lagu demi lagu menghanyutkan rasa dan kenangan…..

 

Di teras depan Gedung Balai Dang Merdu, Pekanbaru, Riau,

A.      A. Navis,  Dasri al-Mubary, Sutrianto, Idrus Tintin dan Abdul Kadir Ibrahim (saya)

serta beberapa orang lainnya lagi—sudah lupa namanya—duduk bersela ataupun berselonjor sambil becakap-cakap hal-ikhwal ringan-ringan saja.

Adakalanya  tertawa berdera-derai dan ketika muncul kelucuan terpaksa memegang perut menahan tawa. Navis tampak bersahaja, dengan celana warna gelap,

baju batik, dan dapat dipahami sebagai seorang rendah hati, begitu akrab dengan kami di situ. Tak terlihat sama sekali roman-mukanya dan sikapnya sebagai orang-sastrawan yang menyandang nama besar. Sungguh mengesankan yang luar biasa! Kami di teras, sedang perhelatan “Dialog Selatan II”, di Pekanbaru, Riau, Indonesia, tanggal 11-13 Desember 1995—saya diundang sebagai penyair

untuk membacakan puisi saya dan moderator.

 

 

 

Sebuah Latar

            Karya sastra, khususnya prosa baik novel, cerita pendek maupun cerita bersambung, dutulis atau dikarang oleh pengarangnya (sastrawan) tidak terlepas dari tempat-lingkungannya, berbagai-bagai peristiwa pemerintahan dan politik, kebangsaan, kenegaraan, sosial,  budaya maupun keagamaan. Sang pengarang dengan alam dan berbagai hal-ikhwal yang terjadi dan berlaku di alam lingkungannya senantiasa berkait-erat sehingga dapat menjadi latar, pemicu dan pemantik ujudnya sebuah (suatu) karya, yang dalam hal ini khususnya karya prosa, dan terlebih khusus lagi cerita pendek (cerpen). 

            Dalam karya sastra, terkhusus lagi prosa, serangkaian narasinya, penceritaannya dibangun dan ditopang oleh berbagai tampilan apa-apa yang ada dan terbentang di alam semesta. Bagaimana suatu wiayah atau daerah, hutan, sungai, sawah, ladang, kebun, lautan, kampung-kampung, desa, kota, bangunan-bangunan, taman-taman dan sebagainya sedemikian berkait erat dengan karya sastra. Penceritaan sebuah cerita pendek, misalnya, tidak dapat tidak adalah terjadi di lingkungan dan alam semesta ini dengan diperankan oleh manusia. Dari kenyataan alam dan lingkungan serta realitas ataupun kenyataan kehidupan manusia itulah lahirnya ide, gagasan, imajinasi, pandangan, interpretasi, dan pelaksanaan penulisan dilakukan oleh seorang pengarang. 

 Buka Foto

            Menurut Wellek & Warren (2013), sastra adalah institusi yang memakai medium Bahasa. Sastra “menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” Sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. Sastra sering memiliki kaitan dengan institusi sosial tertentu. Sastra mempunyai fungsi sosial atau “manfaat” yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Lebih jelas lagi, dikatakan bahwa sastra mencerminkan dan mengekspresikan  hidup. Kata Suhardi (2011), realitas dalam sebuah cipta sastra adalah deskripsi berkaitan dengan kondisi yang sesungguhnya, yaitu yang benar-benar terlihat dalam kehidupan sehari-hari.

            Karya sastra, dengan demikian mempunyai manfaat bagi masyarakat, karena sesungguhnya apa-apa yang dicderitakan ataupun dikisahkan adalah kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya. Kata Ratna (2011), manfaat karya sastra terhadap masyarakat, adalah penyebarluasan aspek-aspek kemasyarakatan—sehingga setiap khazanah dikenal oleh masyarakat yang lain. Secara umum sesuai dengan hakikatnya fungsi utama karya adalah menceritakan, menjelaskannya dengan menggunakan sarana bahasa, baik lisan maupun tulisan. Setiap karya menceritakan peristiwa dalam priode tertentu, dalam masyarakat tertentu, dan dengan sendirinya dalam model interaksi masing-masing.

             Adapun satu di antara pengarang cerita pendek atau cerpenis di Indonesia adalah A.A. Navis (Ali Akbar Navis),  lahir di “kawasan dingin” Padang Panjang, Sumatera Barat, 17 November 1924. Mendapat pendidikan di Pergurun Kayutanam. Dalam Navis (2010), dijelaskan A. A. Navis pernah menjadi Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Tengah di Bukit Tinggi (1952-1955). Pemimpin Redaksi Harian Semangat di Padang (1971-1982), dan sejak 1969 menjadi Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam.  Kemudian dalam Navis (2004), dijelaskan sejak 1968 A. A. Navis kembali mengabdi untuk lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muhammad Syafei sebagai Ketua Yayasan Badan Wakaf Ruang Pendidikan Kayutanam. Aktif memberi ceramah dan tampil sebagai pemakalah dalam berbagai forum diskusi di dalam dan luar negeri. 

            A. A. Navis dalam Rampan (2000), dan Suhardi (2011) diterangkan pernah menjadi anggota DPRD Sumatera Barat mewakili Golongan Karya (1971-1982). Tahun 1995 cerpennya “Robohnya Surau Kami” meraih hadiah kedua majalah Kisah; tahun 1968 novelnya Saraswati, si Gadis dalam Sunyi mendapat hadiah dalam Sayembara Mengarang UNESCO/IKAPI; tahun 1975 cerpennya  Jodoh” menjolok Hadiah Pertama Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep; tahun 1979 cerpennya “Kawin” mendapat hadiah dari majalah Femina; tahun 1988 ia menerima Hadiah Seni dari Departemen P dan K.  Navis juga menerima anugerah SEA Award dari Kerajaan Muangthai (1992), dan menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI (2000) dan  meninggal di Padang, 22 Maret 2003.

            Navis, telah  menulis karya sastra yang sangat dominan adalah cerita pendek. Karya-karyanya, antara lain:  Robohnya Surau Kami (1956),  Biang Lala (1963),  Hujan Panas dan Kabut Musim (1964),  Kemarau (1967),  Kabut Negeri si Dali (2001),  Saraswati (2002),  dan  Bertanya Kerbau pada Pedati (2002).

            Sebagaimana dijelaskan di atas, karya sasta, termasuk cerpen amat berkait erat dengan manusia, alam semesta, dan sudah barang tentu bersangkut-paut dengan kebangsaan di suatu negara, tak terkecuali bangsa Indonesia. Niscayalah pengarang-pengarang Indonesia, khususnya dalam menggarap cerpen-cerpennya senantiasa pula melatari dan mencoraki jalinan peristiwa ataupun kisah, ceritanya dengan kebangsaan yang menjadi jati dirinya. Dengan kata lain, kebangsaan itu sendiri merupakan bagian pula dalam keberadaan seorang pengarang yang hidup pada suatu negara, khususnya di Indonesia. Maka suatu yang masuk akal dan sudah merupakan realitanya, karya cerpen yang dilahirkan oleh pengarang Indonesia juga diwarnai oleh kebangsaan Indonesia.

            Ketika bicara kebangsaan, maka amat melekat dan bersebati dengan setiap orang Indonsesia. Satu yang perlu dipahami, setiap orang Indonesia, melekat dan bersebati pula dirinnya dengan daerah di mana dia dilahirkan, dibesarkan, berkehidupan dan beraktivitas. Hidup dan kehidupannya sebagai seorang dari anak bangsa, sudah pasti dilingkupi oleh budaya, tradisi, adat-istiadad ataupun kebudayaan di mana seseorang tersebut menetap dan bertempat tinggal. Budaya tempatan tak terlepas dalam perjalanan hidup dan kehidupannya, sehingga jikalau dia seorang pengarang cerpen, maka cerpen-cerpernya tidak akan tercabut dari khazanah budaya dimaksud. Dengan demikian, maka terokaan ini diberi tajuk: “Senaraian Karya A.A. Navis dalam Konteks Kebangsaan Masa Kini”.

 

Tinjauan Pemikiran

            Tentang sastra dan khususnya cerita pendek (Cerpen) sudah dijelaskan pada bagian awal tulisan ini. Guna pembahasan lebih lanjut dan menerokaan secara mendalam, terlebih dahulu perlu ditinjau dari beberapa pemikiran terkait dengan kebangsaan. Dengan demikian akan didapatkan gambaran secara jelas bagaimana cerpen-cerpen A.A. Navis dalam konteks kebangsaan masa kini, yang besar makna untuk tetap bersatu-padunya, kuat-kukuh dan majunya bangsa Indonesia di masa-masa yang akan datang seirama dengan kemajuan dan perubahan zaman (dunia) secara global.

            Sebelum sampai ke pembahasan lebih lanjut, kiranya perlu dipaparkan selayang pandang, bagaimana sebenarnya “Alam Minangkabau” yang juga dikenal dengan “Sumatera Barat”. Adapun orang Minangkabau, atau Minang selalu pula  disebutkan sebagai “Orang Padang” atau “Urang Awak”. Dan jangan heran kalau orang akan pergi ke Tanah Minangkabau, Sumatera Barat—yang secara administrasi pemerintahan ataupun kewilayahan terdiri dari berbagai daerah ataupun nama, seperti Padang, Padang Pariaman, Payakumbuh, Padang Panjang, Batu Sangkar ataupun Bukit Tinggi—dikatakan (disebut) ke Padang. Demikian jikalau pulang ke daerah lain, maka orang selalu menyebut dari Padang. Artinya, Daerah Sumatera Barat yang dikenal sebagai Bumi Minangkabau, pada gilirannya lebih selalu disebut sebagai Padang. Padahal Padang itu sendiri adalah sebuah kota otonom yang terletak di pinggir pantai, dan merupakan Ibukota daripada Provinsi Sumatera Barat.

            Seorang akademisi, budayawan, dan sastrawan Minang, Harris Effendy Thahar (2020) menjelaskan tentang bagaimana pada akhirnya Daerah (Orang) Sumatera Barat dan Orang Minangkabaau dan daerah-daerah administrasi lainnya se-Sumatera Barat “disatu-katakan” sebagai “Padang”. Itulah ajaibnya. Masyarakat luar Sumatera Barat, terutama yang berada di Pulau Jawa, entah sejak kapan telah melabel orang yang berasal dari suku Minangkabau ini sebagai orang Padang. Tidak peduli, apakah seseorang berasal dari Bukittinggi, Payakumbuh, Sijunjung, Solok, atau di mana saja daerah asalnya di Sumatera Barat ini, tetap saja disebut sebagai orang Padang oleh orang-orang di Jakarta atau di Pulau Jawa sana.

Sumatera Barat, adalah satu di antara Provinsi di Indonesia,  terletak di pesisir barat di bagian tengah pulau Sumatera,  terdiri dataran rendah di pantai barat dan dataran tinggi vulkanik yang dibentuk oleh Bukit Barisan. Daratan seluas 42.297,30km 2 yang setara dengan 2,17% luas Indonesia. Lebih dari 45,17% merupakan kawasan hutan lindung. Garis pantai seluruhnya bersentuhan Samudra Hindia sepanjang 2.420.357 km, luas perairan laut 186.580 km² dan memiliki 218 pulau. Terbagi dalam 20 Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sesuai data Badan Pusat Statistik Sumatera Barat 2022, sebanyak 4.832.145, dan mayoritas suku/etnik Minangkabau 4.219.729 jiwa.  Lebih jelasnya, penduduk Sumatera Barat tahun 2021 hasil Proyeksi Penduduk Interim 2020-2023 (pertengahan tahun/Juni) sebanyak 5,58 juta jiwa yang terdiri dari 2,81 juta laki-laki dan 2,77 juta perempuan. Adapun batas wilayahnya, sebelah Utara dengan Provinsi Sumatera Utara; sebelah Selatan dengan Provinsi Bengkulu; sebelah Timur dengan Provinsi Riau dan Provinsi Jambi; dan sebelah Barat dengan Samudera Hindia (https://ppid.sumbarprov.go.id).

Dikaitkan dengan Minagkabau, maka daerah ini sangat terkenal dengan “peristiwa” perperangan antara pihak Jawa dengan Datuok nan Badua. Sebagaimana disenaraikan A.A. Navis dalam cerpennya “Bertanya Kerbau pada Pedati” (2004). Adalah pengaduan kerbau sudah sampai waktunya antara Panglima Jawa dengan Datuk nan Baduo. Masing-masing dengan caranya untuk memperoleh kemenangan. Panglima Jawa berpikir, kerbaunya haruslah yang paling besar dan panjang tanduknya. Tak tanggung-tanggung, tanduk kerbau yang disorongnya perlagaan itu, berdepa panjangnya. Sementara Datuk nan Baduo menampilkan kerbau yang masih anaknya, tepatnya dalam usia menyusui. Pertarungan kerbau besar dengan kerbau kecil dimulai. Kerbau besar tidak bisa menyerang sama sekali, karena yang di hadapannya anak kerbau. Sedangkan anak kerbau, segera menyusup ke bawah perut kerbau besar sambil menanduk-nanduk, dan karena di kepalanya sudah dipasang taji yang tajam, maka perut kerbau besar pun mulai mengeluarkan darah akibat dicabik dan luka di mana-mana. Sehingga terburailah perut kerbau dan rubuh ke tanah, kemudian mati. Kerbau kecil milik Datuk nan Baduo pun menang. Panglima Jawa kalah, dan atas kemenangan Datuk nan Baduo, maka disebutlah menang kerbau, yang kemudian negerinya dinamakan Nagari Minangkabau.

Adapun yang dimaksudkan dengan cerpen, menurut Ibrahim dalam Maliki dan Proposal kepada Tuhan (2021), mengisahkan hal-ikhwal hanya sesingkat mungkin, dan atau sekedar bagian dari banyaknya berbagai sisi hidup dan kehidupan manusia. Dapat mengangkat persoalan di mana pengarangnya berada—dalam bentuk menarik, unik, bernilai seni dan samasekali bukan sebagai jamaknya karya refortase atau laporan jurnalistik. Jika dalam cerpen memuat rangkaian “nasib” seseorang yang sekedarnya, tidak keseluruhan hidupnya, memang demikianlah azalinya. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indondesia (1990), cerpen berasal dari dua kata yaitu cerita yang mengandung arti tuturan mengenai bagaimana sesuatu hal terjadi dan relatif pendek berarti kisah yang diceritakan pendek atau tidak lebih dari 10.000 kata yang memberikan sebuah kesan dominan serta memusatkan hanya pada satu tokoh saja dalam cerita pendek tersebut. Sedangkan menurut Heri (2019), cerita pendek  sangat populer di mata masyarakat dengan singkatan cerpen. Cerpen atau cerita pendek adalah tulisan yang menggambarkan tentang kehidupan manusia di suatu tempat dan dalam kurun waktu tertentu. Cerpen memiliki minimal empat buah unsur, yaitu tempat, waktu, pemeran, dan peristiwa. Cerpen menyentuh isu atau berita yang actual, factual, penting, dan menarik. Adapun sumber penulisan cerpen adalah pengalaman hidup (pribadi atau orang lain), pengetahuan, imajinasi, dan sumber lainnya.

Selanjutnya adalah bangsa, yang dalam Ensiklopedi Nasional Indondesia-3 (1989), menurut hukum adalah rakyat atau orang-orang yang berada di dalam suatu masyarakat hukum yang terorganisir. Kelompok orang-orang satu bangsa ini pada umumnya menempati bagian atau wilayah tertentu, berbicara dalam bahasa yang sama (meskipun ada bahasa-bahasa daerah), memiliki sejarah, kebiasaan dan kebudayaan yang sama, serta terorganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat (meskipun dalam hal yang terakhir ini ada pengecualiannya apabila kelompok ini masih berada di tingkat perjuangan kemerdekaan).

Dari kata bangsa, maka dikenal pula apa yang disebut dengan berbangsa, yang sesuai penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), adalah berasal dari bangsa; bermartabat tinggi, berketurunan luhur (bangsawan); termasuk dalam keluarga. Sedangkan kebangsaan adalah ciri-ciri yang menandai golongan bangsa; mengenai (yang bertalian dengan bangsa); kedudukan (sifat-sifat) sebagai orang mulia (bangsawan); kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara. Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belas (1853), menegaskan tentang bagaimana suatu bangsa dan berbangsa, Jika hendak mengenal oarng berbangsa/ Lihat kepada budi dan bahasa. Adapun “bahasa” yang dimaksudkan bukanlah sekedar menjaga lidah, mulut dalam berkata-kata secara halus dan tidak samasekali mengeluarkan kata kasar, kata-kata tidak patut, tetapi sekaligus menampakkan dan mencerminkan perangai (akhlak) yang mulia. Pertanggungjawaban perkataan dan perangai, tidak sekedar kepada sesama manusia, melainkan paling tinggi adalah kepada Sang Maha Pencipta, Allah SWT.

Berkenaan dengan kebangsaan, menurut Ki Hajar Dewantara, yang disampaikannya pada khotbah di muka Konggres PPII di Surakarta, 28 Maret 1928,  terkait dengan rasa. Bahwa Rasa Kebangsaan adalah sebagian dari Rasa Kebatinan kita manusia, yang hidup dalam jiwa kita tidak dengan disengaja. Asal mulanya Rasa Kebangsaan itu timbul dari Rasa Diri, yang terbawa dari keadaan perikehidupan kita, lalu menjalar jadi Rasa Keluarga; rasa ini terus jadi Rasa Hidup Bersama (rasa sosial). Adapun Rasa Kebangsaan itu sebagian dari atau sudah terkandung di dalam arti perkataan Rasa Hidup bersama-sama itu, sedangkan adalah kalanya Rasa Kebangsaan itu berwujud dengan pasti sebagai angan-angan yang kuat dan mengalahkan segala perasaan lain lainnya. Wujudnya Rasa Kebangsaan itu ialah dalam umumnya mempersatukan kepentingan bangsa dengan kepentingan diri sendiri: nasibnya bangsa dirasakan sebagai nasibnya sendiri, kehormatan bangsa ialah kehormatan diri, demikianlah seterusnya (https://luk.staff.ugm.ac.id).

Pada akhirnya kita dapat ketegasan, apa yang dimaksudkan dengan kebangsaan Indonesia. Ir. Soekarno (Bapak Proklamator), pada pidatonya di BPUPKI, 1 Juni 1945, menegaskan dasar pertama buat Indonesia ialah kebangsaan. Itu bukan bearti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi—menghendaki suatu nationale staat. Pendek kata, bangsa Indonsia—bukanlah sekedar satu golongan—ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT., tinggal di kesatunnya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai ke Irian! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia—yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu! Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationalite Staat, di kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Semua golongan dinamakan “golongan kebangsaan”.

Dengan demikian dapat disimpulkan kebangsaan, adalah adanya kesamaan rasa, senasib dan sepenanggungan, kerikatan antara satu dengan lainnya, dan tidak saling menyakiti dan apalagi mengkhianati sesama. Kebangsaan ada rasa penghormatan dan penghargaan,  serta dalam kesetaraan manusia satu dengan lainnya, sebagaimana dikenal dalam ungkapan Melayu Lama: “Yang besar tak dihimbau gelar, yang kecil tak disebut nama”, yang bermakna panggilan diberikan dan ditempatkan sepatutnya dengan hakikatnya tidak ada kasta ataupun perendahan terhadap harkat dan martabat manusia itu sendiri. Kebangsaan merupakan buah hasil dari pelenturan dan pemaduan keaneka-ragaman suku-bangsa sehingga ada rasa kebangsaan yang satu dan kestaunnya, lebih ditinggikan dan dijaga bersama sehingga kokoh dan pantang bercerai-berai. 

Dengan demikian, maka kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang dibangun, ditopang dan diperkuat-kukuhkan oleh etnik dan bangsa-bangsa dari berbagai kawasan, daerah,  di seluruh Nusantara, yang kemudian bernama Indonesia.  Kebangsaan Indonesia adalah tumbuh rasa kebersamaan, terikatnya secara jiwa-raga dari segenap orang yang mendiami dan menjadi warga negara Indonesia,  penuh kesadaran, kerelaan dan kesetiaan untuk bersatu dalam kebhinnekaan.  Kebangsaan Indonesia, bukan berasal dan mengistimewakan suatu suku ataupun etnik, juga daerah, kelompok, melainkan semuanya tetap kukuh dengan adat-istiadat, budaya, serta kebiasaan-kebiasaan lainnya sesuai dengan karakteristik dan khazanah masing-masing, yang pada waktu  bersamaan tetap pula melebur dan menjungjung tinggi nasib yang sama, yakni bangsa Indonesia. Kebangsaan Indonesia, adalah kebangsaan yang ujud dan dibina dari berbagai-bagai suku-bangsa di seluruh tumpah darah Indonesia.

 

Senaraian Cerpen A.A. Navis dalam Konteks Kebangsaan

Berdasarkan uraian di atas, pada bagian ini, perlu dikemukakan penerokaan dan senaraian terhadap karya-karya A.A. Navis yang dilakukan—dikhususkan kepada karya-karya cerita pendeknya. Dalam hal inipun, tidaklah semua cerpennya diungkit dan diangkat dalam konteks kebangsaannya, melainkan beberapa saja. Namun yang terpenting, karya sang pengarang ini,  tak disanksikan lagi nyata konteks kebangsaan, baik pada masa karya itu ditulis maupun masa kini, yang sudah barang tentu juga nanti (mendatang). Dengan demikian, agar dapat menjawab tajuk: “Senaraian Karya A.A. Navis dalam Konteks Kebangsaan Masa Kini”, perlu dimunculkan beberapa pertanyaan. Adapun pertanyaannya: 1) Apakah judul-judul dan senaraian kalimat pada cerpen-cerpen A.A. Navis yang terkait kebangsaan?; 2) Bagaimanakah gambaran kehidupan orang Minangkabau dalam cerpen-cerpen A.A. Navis?; dan 3) Bagaimanakah Konteks cerpen-cerpen A.A. Navis dengan kebangsaan masa kini?

Dalam seneraian ini dapatlah kita ambil misal karya cerpen A.A. Navis yang sejatinya terkait dengan kebangsaan, antara lain:  cerpen “Rubuhnya Surau Kami”, “Penolong”, dan “Dari Masa ke Masa” dari kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (terbit peratama sekali tahun 1986). Selanjutnya cerpen: “Sebelum Pertemuan Dimulai”, “Angkatan OO”, “Kucing Gubernu”, “Kuda itu Bernama Ratna”, dan “Bertanya Kerbau pada Pedati” dari kumpulan cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati (terbit pertama sakali tahun 2002).

Ada baiknya terlebih dahulu diungkai sepintas kilas tentang bagaimana gambaran kehidupan “Orang Minangkabau”, sebagai salah satu suku-bangsa-etnik di Nusantara. Orang Minangkabau, diakui secara luas adalah orang yang dapat dengan teguh menegakkan dan berpegang kepada adat, sehingga tercermin dalam hidup dan kehidupan setiap orang Minangkabau. Setali dengan itu adalah kukuh-kuatnya persaudaraan dan persatuan (kekerabatan) di antara orang Minangkabau, baik di Nagari Minangkabau (Sumatera Barat) sendiri maupun di perantauan—di manapun sudut buminya. Dapat dikatakan, “kebangsaan Orang Minangkabau” sudah terbentuk sejak adanya Orang Minangkabau dan tetap erat sehingga kini dan niscayalah di masa yang datang. Dalam pidato di hadapan BPUPKI, 1 Juni 1945, yang dikenal dengan “Lahirnya Pancasila”, Ir. Soekarno (Bung Karno), mencontohkan tentang kebangsaan yang hendak diujudkan sebagai kebangsaan Indonesia, adalah kebangsaan dalam satu kesatuan suku-bangsa (daerah-daerah), yang kesatuan kecil sudah dilakukan oleh orang Minangkabau. Di antara bangsa Indonesia, yang paling ada “desir d’etre ensemble” (keinginan untuk bersama), adalah rakyat Minangkabau—rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. 

Bagaimana orang Minangkabau menghendaki, mengharuskan dan menegakkan sebagai “satu keluarga” bersatu-padu, saling erat dan kukuh, sebenarnya dapat kita pahamkan dari berbagai ungkapan adat (tradisi lisan) orang Minangkau, yang ucapan ataupun ungkapan tersebut mereka amalkan, mandarah-daging dalam hidup dan kehidupan ataupun kesehariannya.  Lamak dek awak, katuju dek urang (Kita senang, orang lain-pun setuju) : Tenggang rasa dengan orang lain. Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik (Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat) : Kesepakatan bersama dicapai melalui mufakat. Duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang (Duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang) : Persoalan akan terasa susah jika diselesaikan sendiri-sendiri, namun akan lebih mudah jika diselesaikan bersama-sama. Nan buto paambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan lumpuah paunyi rumah, nan kuaik pambaok baban, nan binguang disuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang (Yang buta peniup lesung, yang pekak pelepas bedil, yang lumpuh penunggu rumah, yang kuat pembawa beban, yang bingung (kurang berakal) disuruh-suruh, yang cerdik kawan berunding) : Semua orang ada fungsinya dan bisa berkontribusi di masyarakat. Ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun (Ke bukit sama mendaki, ke lurah sama menurun) :  Suatu pekerjaan yang dikerjakan atas keinginan dan kemauan bersama. Basilang kayu dalam tungku, mangko api ka hiduik (Bersilang kayu dalam tungku, maka api akan hidup) : Silang pendapat yang terjadi, bisa menghasilkan kesepakatan terbaik (https://afandriadya.com).

Selanjutnya, kita senaraikan gambaran kehidupan orang Minangkabau dalam cerpen-cerpen A.A. Navis.  Hasanuddin WS (2009) menyebutkan, karya-karya Navis memiliki warna kedaerahan yang sangat kuat. Navis berhasil menempatkan idiom-idiom lokal Minangkabau, tetapi tetap ditempatkan dan dimunculkan dalam konteks lebih luas, yakni persoalan-persoalan bangsa dengan konsep-konsep yang terasa lebih universal. Dialog-dialog yang tampil dalam karya A. A. Navis dalam setting sosial dan masalah orang Minang menunjukkan sisi sangat penting dari karya tersebut.  Sisi tersebut adalah pergulatan mati-hidup antara inersia sosial yang umum berlaku, dan tuntutan kuat akan perubahan pola kehidupan masyarakat Minang sendiri. Cemoohan terhadap tradisi, superstisi/ takhayul (superstition), rendahnya kedudukan wanita, kesenangan hedonis, menghamburkan uang untuk perhelatan dan kenduri sebagai ‘keharusan sosial’. Semua itu merupakan sisi-sisi kehidupan yang dikembangkan oleh Navis untuk mendorong masyarakatnya agar memahami kehidupan secara lebih baik. 

Navis menurut Irdawati (2012),  diawali oleh keinginan untuk melampiaskan ekspresi atau pemikiran intelektualnya, bukan atas dasar uang. Model yang digunakan Navis berupa orang, alam termasuk binatang, dan beberapa peristiwa yang turut membantu jalannya penceritaan. Hal lain yang lebih penting lagi dalam proses kepengarangan Navis adalah berbagai pemikirannya terhadap berbagai perubahan sosial yang terjadi, baik dalam perkembangan individu maupun tentang sistem dan struktur pemerintahan nasional, serta masalah pendidikan.

Adapun konteks cerpen-cerpen A.A. Navis dengan kebangsaan masa kini, yang antara lain dapat dibaca dan dipahami pada kumpulan cerita pendek Robohnya Surau Kami (1986)—memuat 10 cepen—tak disanksikan lagi  konteks kebangsaan tersebut. Robohnya Surau Kami, cerpen pertama dan sekaligus menjadi judul kumplan cerpen,  sungguh memberi tahu, makna, dan sekaligus isyarat, betapa persausaraan, kekeluargaan, persatuan dan kesatuan dalam suatu ikatan keimanan (keyakinan) dan tentu sekaligus kemasyaratan dalam suatu bangsa sudah tidak memadai lagi, longgar dan bolehjadi sudah luntur dan pupus. Bagaimana tidak?! Sebuah surau saja, yang sejatinya adalah tempat bersatu-padunya umat untuk menyembah atau beribadah kepada Allah SWT.,  Tuhan Yang Maha Kuasa saja, tidak dapat dipelihara, dirawat, dan tegak oleh segenap orang. Bahkan bukan hanya rusak, dan usang tetapi roboh! Hilang sudah ikatan kekeluargaan, dan kebersamaan, pupus sudah persatuan, lenyap sudah kebangsaan.

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang jalan kelima, membelokkan ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah rusau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi (Robohnya Surau Kami:1).

Cerita berlanjut, sempailah pada akhirnya mengisahkan surau sudah roboh, yang bukan hanya tidak dihiraukan oleh masyarakat, tetapi seiring pula dengan meninggalnya penjaga surau tersebut, yang dipanggil Kakek. Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suray kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti perkayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tidak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi (Robohnya Surau Kami:2).

Cerpen “Penolong”, bagaimana dikisahkan pada masa pendudukan  Jepang, yang menjadi andalan angkutan umum adalah kereta api. Di Lembah Anai, pada suatu malam, ramai orang berlari dan di antaranya bernama Sidin. Mereka hendak menolong orang lain, karena ada kereta api yang jatuh di jembatan Lembah Anai. Bagaimana dalam senaraian cerita ini, Navis menjelaskan Sidin dengan para pribumi yang mengalami kecelakaan dan bagaimana pula sikap dan tindakan tantara Jepang terhadap pribumi yang tdak mau ambil pusing, tetapi cekatan mengurus korban orang Jepang sendiri.

Pada waktu Sidin sampai di tempat kecelakaan itu, orang-orang belum banyak. Lampu-lampu teken yang sedikit tak kuasa memberikan penerangan bagi orang-orang yang memberikan pertolongan. Banyak korban telah dikeluarkan dari gerbong yang terguling bertindihan di bawah jembatan yang ambruk itu. Dibarikan di tepi jalan raya. Tidak diketahui pasti, apakah mereka masih  hidup atau mati. Beberapa Jepang dengan pakaian militernya, hanya memilih Jepangnya saja. Dikeluarkan dari gerbong, digotong ke tepi jalan raya, dan diangkut cepat dengan truk yang disiapkan untuk diberi rawatan di rumah sakit terdekat. Sedangkan korban yang lain, diurus oleh bangsanya sendiri pula (Robohnya Surau Kami:114). Sidin dan orang pribumi lainnya, harus sibuk, bersusah-payah menolong dan berupaya menyelamatkan para korban pribumi.

Dalam cerpen “Dari Masa ke Masa”, pada intinya menceritakan adanya “kelompok” atau “pihak” sebagai anak-anak muda yang selalu diberi pesan-pesan, petuah-petuah, bahkan repekan oleh orang yang sudah lebih tua, dengan panggilan Bapak. Lalu ada pula yang lainnya, sebagai orang yang menjadi pasukan atau angkat senjata sehingga ikut berperang. Saya memang selalu tukang dongkol, karena kepada kami-kami saja pesan itu disampaikan. Tapi tidak pernah disampaikan pada teman-teman kami yang memanggul senjata, yang mau ke front pertempuran. Padahal pekerjaan itulah yang paling berat resikonya (Robohnya Surau Kami:131). Dan, pada intinya, cerpen inipun menjelaskan bagaimana sebetulnya kebersamaan, persaudaraan, persatuan, setiap orang ada perannya dan tetap konsisten (setia) dengan perannnya itu, sehingga ketika bersama yang lain, maka menjadi lebih siap dan kuat, yang tidak mudah dicerai-beraikan, kokoh  dalam suatu barisan sebagai kebangsaan  yang utuh.

Selanjutnya cerpen “Sebelum Pertemuan Dimulai”, bagaimana A.A. Navis menggambarkan kebangsaan Indonesia di antara bangsa-bangsa di dunia. Dalam kisah cerpen ini, terdapat beberapa tokoh dunia berbicara dalam suatu pertemuan—yang dimulai sejak Liga Bangsa-bangsa—para tokoh abad XX membiasakan pertemuan sejagat. Yang berbicara ada Gandhi, yang Mahatma tentunya, berbicara panjang lebar tentang  pemikiran persoalan dunia dan menyebut beberapa nama terkemuka di dunia. Namun Ghandi heran, karena Sekretaris pertemuan tersebut belum hadir. Dan, muncul seseorang yang berkumis bertanya kepadanya, “Siapa sekretaris?”, lalu spontan dijawab Ghandi, “Chairil Anwar”.

Kumis tebal melintang yang bertanya itu, tiba-tiba melenting-melenting ketika mendengar nama Chairil Anwar. “Mengapa anarkis kerempeng itu sampai jadi sekretaris? Orang itu tak mau diatur, tak mau disiplin. Sama dengan orang sekampung asalnya, Tan Malaka yang tidak berpunggung bungkuk waktu jadi anggota Komitern. Sehingga aku pecar dia.” Ghandi kemudian menghapus kebingungan Kumis Tebal dengan menjelaskan bagaimana sebenarnya sosok Chairil Anwar. Chairil aku pilih karena dua alasan. Pertama, dia mengaku jadi ahli waris kebudayaan dunia. Kedua, dia beraliran humanism universal. Jadi dia berjuang bagi kepentingan bangsanya saja.” (“Sebelum Pertemuan Dimulai”:30).

Dan, ini mempertegas bahwa A.A. Navis hendak menunjukkan kebangsaan Indonesia. Dunia tahu, Ghandi adalah tokoh besar dan terkemuka di India dan sekaligus tokoh dunia. Tetapi, seorang Ghandi memilih Chairil Anwar, menjadi Sekretaris. Dan alasan Ghandi memilih Chairil, antara lain karena berjuang bagi kepentingan bangsanya saja. Jadi jelas, Navis hendak mempertegaskan, kebengsaan bukan hanya demi satu, teguh dan kokohnya kebangsaan Indonesia, tetapi juga berdampak pula kepada bangsa-bangsa di dunia.

Dalam cerpen “Angkatan 00” mengisahkan terjadinya Angkatan-angkatan yang bermuara dan berpuncak pada kekuasaan. Antara lain Angkatan 66 yang merupakan cicit Angkatan 45 atau piut dari Angkatan 28. Angkatan 00 tidak mau mengakui angkatan-angkatan tersebut. Angkatan ini menekankan pentingnya Manifes Kemanusiaan. Uniknya, di antara mereka itu tidak ada yang lahir jadi pahlawan. Namun yang pasti mereka juga berhasil mendongkel Pemerintahan Kaul Modern. Tapi demikianlah, Pemerintahan Kaul Modern itupun berhasil ditumbangkan tanpa melahirkan pahlawan-pahlawan seperti yang dipunyai oleh Angkatran 66 yang menjadi kaki Angkatan 00 ini. Sehingga terhindarlah bangsa ini dari mitos dan pengkultusan manusia oleh manusia (“Angkatan 00”:72). Tampak jelas, bagaimana sebetulnya yang dikehendaki, adalah kebangsaan yang utuh, bukan kebangsaan yang terkotak-kotak. Apabila itu yang terjadi maka sulit untuk mengekalkan persatuan dan kesatuan yang hal itu sangat jelas merusak kebangsaan. Dengan demikian, betapa dipentingkan bangsa dan pemerintahan yang  tidak dibayang-bayangi oleh mitos dan  pengkultusan, karena sejatinya melemahkan dan merusak kebangsaan.

Kebangsaan, dapat pula ditarik dari cerpen “Bertanya Kerbau pada Pedati”, yang pada awal cerita A.A. Navis telah menggambarkan tidak berfaedahnya perpecahan dan perperangan di antara suku-bangsa, yakni Datuk nan Badua dan Panglima Jawa. Perperangan memakan korban, dan pada akhirnya mereka bersatu dan bertampat tinggal yang sama di Minangkabau. Pada bagian lain, Navis hendak menunjukkan, bahwa pedati yang berfungsi sebagai angkutan barang bermacam-macam itu, dan kerbau yang menariknya serta tukang pedati—yang ternyata tukang pedati memposisikan dirinya berkuasa terhadap pedati dan kerbau. Eksploitasi terjadi di dalam peristiwa tersebut. Ujungnya, jangankan orang, kerbau pun bisa mengamuk. Bisa berontak! Karena itu, ketika berkuasa hendaklah ingat bahwa ada yang memberi kuasa dan betapa berharap kekuasaan tersebut dilaksanakan dengan baik dan benar. Bahwa tukang pedati hendak memahami dan memperlakukan pedati sebagai kendaraan angkutan yang membawa barang sepatutnya, bukan berlebihan.

Begitu juga bagaimana bersikap dan memperlakukan kerbau sebagai penarik pedati. Dengan demikian diperlukan keteraturan, keterpaduan, dan keserasian antara tukang pedati dengan kerbau yang merupakan binatang dan pedati yang merupakan benda mati, tetapi mestilah harmoni. Jikalau dilarikan kepada kehidupan manusia, maka di sinilah diperlukan sikap dan tindakan yang bijak, tidak sewenang-wenang dan apalagi zalim kepada siapa dan apapun. Dengan demikian, maka sesama mestilah bersaatu padu dalam kehendak kebangsaan, yakni kebangsaan Indonesia. Konteks kebangsaan dalam cerpen ini, dapat dipahami—mengaitkan kisahnya dengan zaman perang, yang memerlukan persatuan dari berbagai bangsa untuk berjuang dalam satu kesatuan bangsa, yakni kebangsaan Indondesia. “Zaman ini zaman revolusi, zaman perang kemerdekaan, di sana emosiku terlibat” (Bertanya Kerbau pada Pedati:106).

Menjadi nyata konteks kebangsaan pada karya-karya sastra, khususnya cerpen Navis, niscaya dapat dimengerti dan dipercayai. Sebab, alam dan khazanah Minangkabau telah mandarah-daging dan mencoraki sendi-sendi kehidupannya. Karenanya, karya-karyanya mestilah berkait dan bersebati erat dengan alam Minangkabau itu sendiri dan sekaligus terkembang pula untuk kebangsaan Indonesia. Bahwa orang Minangkabau paham betul bagaimana mereka dalam adat istadat dan hidup dengan tradisi menempatkan ibu (pihak perempuan) lebih istimewa dan disanjungkan serta dijaga kehormatan dan diberi penghormatannya. Pertalian di antara keluarga pihak perempuan dan pihak lelaki dan begitu seterusnya di dalam kehidupan orang Minangkabau, telah terbentuk dan terwujud sedemikian rapat dan erat, sehingga memungkinkan ujud pula kebersamaan dan persatuan di antara keluarga. Dan di sinilah, cikal bakal kebangsaan yang realitanya tidak terlalu sulit untuk dipahami dan dipegang pula oleh orang Minangkabau.

Mohammad Hatta (2011), menjelaskan, di desa atau di kampung Minangkabau, keluarga itu lain duduknya. Bentuk keluarga kampung itu—keluarga kolektif. Rumah dan harta bukan kepunyaan orang-orang, melainkan kepunyaan bersama keluarga. Bapak dan anak tidak tinggal serumah, tetapi terpisah dalam keluarga masing-masing menurut sistem turunan ibu, matrilineal. Dalam satu rumah keluarga tinggal bersama ibu, saudara-saudaranya (bini, paman), anak, dan nenek kalau masih hidup. Paman yang tertua yang dipanggil mamak menjadi kepala rumah tangga. Bapak si anak datang ke rumah itu hanya sebagai tamu pada malam hari. Pada malam hari ia makan-minum di situ bersama istri dan anak-anak, ada kalanya juga tidak. Pada pagi hari, sehabis makan pagi, dia pulang ke rumah keluarganya. Di sana ia serumah dengan sausara-saudaranya dan anak-anak saudaranya yang perempuan, kemenakannya.

Sebagaimana semua hasil karya sastra, kata Sarjono (2001), sastra Indonesia modern tentu tidak lahir dari ruang kosong. Ia lahir dan dilahirkan dari situasinya. Alhasil, suatu karya sastra tidak dapat dilepaskan dari habitat yang melahirkannya. Komunitas wacana yang hidup dan bersitegang pada zamannya yang dihidupi seseorang sastrawan niscaya akan berpengaruh besar bukan hanya pada tema-tema yang dipilih melainkan juga pada estetika yang dijalaninya.

Dijelaskan H. Nani Tuloli dalam Alwi dan Sugono (1999), sastra tidak hanya memasuki ruang dan seluk beluk serta nilai-nilai kehidupan personal, tetapi juga memasuki ruang dan seluk-beluk serta nilai-nilai kehidupan manusia dalam arti keseluruhan. Sastra bisa masuk dalam alam politik, sejarah, perekonomian, perjuangan hak-hak azasi manusia, hukum, aspirasi, dan cita-cita masa depan. Dan bila dikaitkan dengan zaman yang terus berubah, maka sastra dapat berperan mendorong dan menumbuhkan nilai-nilai poszitif manusia; memberi pesan kepada manusia, terutrama pemimpin agar bebuat yang sesuai dengan harapan masyarakat, mencintai keadilan, kebenaran, dan kejujuran; mengajak orang untuk bekerja keras demi kepentingan dirinya dan kepentingan bersama; merangsang munculnya watak-watak pribadi yang tangguh dan kuat, seperti untuk berkorban demi mencapai cita-cita.

Pada azalinya, karya sastra, khaasnya cerita pendek, yang dalam hal ini sebagai bagian dari cerita pendek—yang diangkat dan diseneraikan beberapa cerpen A.A.Navis—bila dikaitkan dengan konteks kebangsaan, memang sedemikianlah terjadinya: ada cerpen-cerpen yang berkonteks dengan kebangsaan bukan hanya bagi masa di waktu karya itu ditulis tetapi jiga kini dan tentu nanti. Karya sastra, amat berkaitan erat dengan masyarakat, karena karya sastra sejatinya memang berangkat dari peristiwa-peristiwa masyarakat. Hanya saja dibancuhkan dan dindah-molekkan oleh kemampuan imajinasi dan bahasa yang seni-indah. Bahwa jalinan karya sastra berupa cerpen misalnya, kejadian ataupun belum terjadi di tengah masyarakat, tetapi seolah-olah terjadi. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bila realitanya karya sastra, khasnya cerpen yang ditulis oleh orang Indonsia, ada yang sedemikian jelas kontek kebangsaannya, yang dalam hal ini adalah kebangsaan Indonesia. 

 

Penutup      

A.A. Navis mengangkat dalam karya sastra, dengan itu diharapkan masyarakat dan peneraju pemerintah dapat menangkap bagaimana semestinya kebangsaan Indonesia yang dibangun dan ditopang oleh bergama suku-bangsa, dengan daerah yang berbeda-beda pula, tetap menjadi bangsa yang berbudi luhur dengan mengedepankan segala aspek kehidupan demi bangsa dan negara. Cerpen-cerpen A.A. Navis, terutama yang disebutkan di atas, bukan sekedar mengisyaratkan pentingnya satu dan kesatuan di dalam suku-bangsa yang kecil dan terbatas, tetapi hendaklah ujud satu dan kesatuan suku-bangsa dengan suku-bangsa, sehingga ujud pula kebangsaan yang satu dan kesatuan, yakni kebangsaan Indonesia. Pada intinya, karya A.A. Navis dalam kontek kebangsaan masa kini, sedemikian aktual dan relevan.

Sastra dari bangsa untuk bangsa dan kebangsaan! Tugas negara dan pemerintahan adalah memberi laluan, kepastian tumbuh-berkembang, berkesinambungan dalam kuantitas dan kualitas semua bidang sastra, khasnya cerita pendek di Indonesia. Karya sastra, khasnya cerpen sejatinya dapat dan tepat menjadi sarana dalam meneguhkan kebangsaan: kebangsaan Indonesia!***

Tanjungpinang, Sabtu, 12 Oktober 2024


 

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال