Mengenang Sang Legenda Chairul Harun, Wartawan dan Sastrawan Disegani

 Buka Foto

PADANG, AjarDetik.com – Si “Kai” itu lasak, pausai buku, dan dia satu-satunya yang tak melanjutkan ke SMA. Dia meminati banyak hal. Membaca, membaca, dan menulis adalah kesukaan Kai sejak SMP. Dia teman sebangku, tuanya empat bulan, minta dipanggil uda. Saya tak mau. Saya tetap panggil dia Kai.

Demikian dipaparkan Prof. Dr. Ir. Fachri Ahmad, M.Sc., mantan Rektor Universitas Andalas dan mantan Wakil Gubernur Sumatera Barat, pada acara "Mengenang Sang Legenda Chairul Harun - Warisan", di Hotel Daima, Sabru (24/8/2024). “Saya dan Kai teman seangkatan di SMP 1 Kota Solok. Bapak Kai bertugas di Singkarak, makanya Kai bersekolah di Solok,” ujarnya.

Fachri Ahmad mengakui, bahwa Kai alias Chairul Harun, sejak tamat SMP tak pernah berjumpa lagi. Namun demikian, saya mengikuti Kai lewat karya-karyanya. Dia wartawan dan sastrawan yang sangat dikenal pada masanya. Dan Kai pantas kita kenang untuk menginspirasi anak muda zaman sekarang.

Acara yang digelar Himpunan Media Sumbar yang diprakarsai Isa Kurnaiwan ini dihadiri antara lain sastrawan Prof. Dr. Haris Effendi Thahar, keluarga Chairul Harun, termasuk istri beliau, Ernilitis, dan anaknya, Syafrizal Harun. Juga tampak hadir sastrawan Syarifuddin Arifin, Fauzul El Nurca, Yeyen Kiram, Yurnaldi, Nasrul Azwar. Juga mantan wali kota Padangpanjang Fadli Amran, yang kini calon wali kota Padang.

Isa Kurniawan, panitia pelaksana dari Himpunan Media Sumbar (Hamas), menjelaskan bahwa tujuan kegiatan ini adalah untuk mengenang Chairul Harun, seorang pujangga dan wartawan senior yang terkenal di Sumatera Barat.

Isa Kurniawan berharap acara ini bisa memotivasi generasi muda Minangkabau untuk mengikuti jejak para pendahulu mereka dalam berkesenian. "Harapan kami, dengan acara ini, anak muda dan generasi di Sumbar dapat meneruskan berkesenian, bahkan mencapai kesuksesan seperti tokoh-tokoh sebelumnya, salah satunya Chairul Harun," ujar Isa Kurniawan.

Sekilas Chairul Harun

Chairul Harun, lahir di Kayutanam, Kabupaten Padang Pariaman pada 17 Agustus 1940 dan meninggal dunia pada 19 Februari 1998, adalah seorang sastrawan, budayawan, wartawan, filsuf, dan pemikir.

Sebagai sastrawan, beliau menghasilkan berbagai karya sastra, termasuk puisi, cerpen, dan novel. Beberapa karya terkenalnya meliputi: 1) Tiga Kumpulan Sajak (1968), 2) Ganda Hilang (1981), 3) Warisan (1983), 4) Monumen Safari (1966), 5) Matajo (cerita anak), 6) Basoka (cerita anak), 7) Maranginang (cerita anak), 8) 60 Jam yang Gawat (cerita anak), 9) Teratai Kerinci (cerita anak), 10) Cindua Mato, 11) Sutan Pangaduan (saduran) dan 12) Sastra sebagai Human Control (1984).

Pada 1979, novelnya Warisan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Chairul Harun juga pernah memimpin Badan Koordinasi Kegiatan Kesenian Indonesia (BKKNI) Sumatera Barat pada tahun 1977 dan memiliki pengalaman sebagai wartawan di harian Angkatan Bersenjata, majalah Tempo, serta menjadi Pemimpin Redaksi di beberapa koran Sumbar, termasuk harian Aman Makmur, harian Haluan, dan Wakil Pemimpin Redaksi di harian Singgalang.

Pada kesempatan itu, dosen FBS Universitas Negeri Padang, Leni Marlina, melukisakan Chairul Harun dalam puisi yang ditulis dan dibacakan pada acara tersebut. Beikut kutipan puisinya.

 

Senandung Pena Chairul Harun

Di bawah pelangi Pariaman, tempat embun menyapa pagi,
Chairul Harun engkau hadir membawa sinar damai,
Seperti bunga yang mekar di lembah sunyi,
Engkau ukir kisah, menggugah jiwa, merangkai cerita penuh makna.

Dalam kekayaan Minangkabau yang megah,
Engkau melukis sejarah dengan tinta emas,
Kata demi kata, engkau jalin seperti benang sutra,
Mengikat tradisi dalam alunan yang tak lekang waktu.

Kata-katamu, aliran sungai jernih,
Menghidupkan pepohonan cerita di lembah dan bukit,
Menyentuh hati, berbisik lembut di telinga kita,
Mengisahkan cinta pada tanah leluhur yang abadi.

Setiap baris puisimu, ranting kayu menari,
Ditiup angin sepoi, menceritakan cinta pada warisan,
Menjaga jejak budaya, tak terhapus waktu yang berlalu,
Engkau adalah penjaga, pengingat masa yang telah berlalu.

Di ruang kelas, di panggung seni,
Engkau bagai mentari menyinari pagi,
Membakar semangat di dada siswa,
Menanamkan cinta pada akar tradisi.

Penghargaan datang bagai hujan bintang,
Namun bagimu, itu hanyalah bayang,
Engkau tulus seperti pelangi setelah hujan,
Mengabdi tanpa pamrih, dengan hati yang lapang.

Di tengah hiruk pikuk zaman yang berlalu,
Terhamparlah kisah-kisahmu wahai sang budayawan dan sastrawan, Chairul Harun,
Seperti benang sutra yang menganyam,
Menggambarkan keindahan sastra dan kehidupan.

Dalam “Dua Puluh Sastrawan Bicara”,
Pemikiranmu hadir, membuka jendela dunia,
Antologi esai yang memukau, menggugah rasa,
Menyibak makna, Chairul Harun engkau luar biasa.

“Warisan”, novel yang menjadi pusaka,
Mengisahkan sengketa harta dalam adat Minangkabau,
Dengan gaya bahasa yang khas, penuh makna,
Engkau singkap sisi kelam, menantang tradisi.

Melalui sorotan Veven S.P. Wardhana,
Kita pahami makna yang tersirat,
Kata-katamu menyentuh kehidupan,
Menggambarkan konflik yang dalam.

Bill Watson pun angkat bicara,
Mengapresiasi pemikiranmu yang bijak,
Engkau tidak hanya menulis cerita,
Namun mempertanyakan adat yang berlaku.

“Warisan” bukan sekadar karyamu,
Namun cerminan tajam realitas sosial,
Menyibak sisi kelabu masyarakat,
Mengajak kita bertanya tentang hak dan keadilan.

Kini engkau telah lama tiada, namun karyamu abadi,
Seperti pohon beringin yang kokoh di hati,
Chairul Harun, sang pemahat budaya sejati,
Nyalakan kembali jiwa kami, setiap kali membaca hasil goresan penamu.

Terima kasih, oh penulis bijak,
Kau adalah burung merak yang melebarkan sayap,
Dalam indahnya cerita, kekayaan budaya,
Karyamu tetap hidup, inspirasimu takkan pernah pudar.

(Padang, Agustus 2022)

 

Buka Foto

Leni Marlina dan Fachri Ahmad (tengah)

Menurut Leni Marlina yang juga pendiri dan kepala World Children’s Literature Community (WCLC). puisi yang ada pula versi Bahasa Inggris-nya ini awalnya diterbitkan dalam koleksi puisi Leni Marlina pada bulan Agustus 2016, dan direvisi kembali Agustus 2022, sebelum dipublikasikan setahun kemudian melalui media digital.

Leni Marlina juga aktif sebagai anggota Asosiasi Penulis DPD SatuPena Sumatera Barat sejak tahun 2022, dan terlibat dengan Asosiasi Penulis Victoria – Australia sejak tahun 2012. (NAL)

 

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال