Kongres Luar Biasa yang Luaaar Biasaa

 

Oleh SUPRIYANTO MARTOSUWITO

        Lazimnya penyelengaraan Kongres Luar Biasa (KLB), maka suasananya juga luar biasa. Menegangkan. Lha, kongres yang biasa - bukan luar biasa - saja sudah luar biasa; mencekam dan dijaga ketat - para penjaga di pintu masuk dengan mata awas mencermati dan memelototi para peserta yang hadir. Lalu sidang diramaikan dengan aneka tingkah peserta / delegasi; terdengar teriakan, protes, interupsi, ketukan palu bertubi tubi, ‘walk out’, sumpah serapah, bahkan baku baku hantam, lempar kursi - tawuran massal - seperti kerap diberitakan media baru baru ini. Apalagi yang kongresnya luar biasa?
        Maka itu, dengan dada berdebar, hati was-was, debar jantung dikuat-kuatkan, saya menghadiri Kongres Luar Biasa PWI di Mall Paragon, Jl. Gajah Mada 126 - Jakarta Barat, Minggu petang kemarin. Sempat saya membayangkan hal yang terburuk.
        Ya. Dahulu kala, sewaktu masih reporter, saya gemar menghampiri keributan, untuk memotret dan menjadikan berita. Setelah jadi bapak dan kakek, nyali pun menciut dengan sendirinya. Saya memilih baju lengan pendek, tas kecil dan sepatu lari, siap siap saja kalau ada bahaya.
        Bang TB Adhi dari PWI Jaya lah yang mengundang saya menghadiri KLB. Juga Bang H. Ilham Bintang yang Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat. Kemudian sohib seDepok, Matt Bento Herman Wijaya, menelepon, “perlu teman, nih, ” katanya. Kurang dorongan apa lagi kalau tak hadir ? Maka saya pun bergegas mandi, pesan GoJek, loncat ke KRL menuju Stasiun Kota lalu naik TransJ ke halte Sawah Besar, tak jauh dari TKP.
        “Jadi status kita apa nanti?” tanya saya kepada matt Bento di jalan
        “Pengintip, ” jawab Matt Bento, iseng. Seperti biasa.
        “Pengintip dan Pengopi, ya? ” kata saya, terkekeh. Dia angkat jempol. Setuju. Hampir pasti di acara kongres ada “coffee break”. Jadi ‘mengopi’ bagian penting juga dalam kongres. Apalagi ini Kongres Luar Biasa.
        SETELAH naik ke lantai 2 dan mengisi meja buku tamu, kami mendapatkan tag ‘Peninjau’ karena wajah kami ternyata tak asing di tengah meja panitia. Tak percuma kerja sampai bangkotan di media, sehingga tak susah masuk ruangan kongres luar biasa.
        Selain dapat tag, tersedia air mineral, notes dan pensil di meja, yang disediakan oleh pihak hotel. Sebelum kongres dimulai, diberi kesempatan ngopi dan beberapa cemilan, kue-kue gurih. Suasana nyaman tentram damai. Target ngopi pun tercapai. 
 
 
 
        Sebagai ‘Peninjau’ posisi kami ditempatkan di meja kiri sedangkan para peserta dan delegasi dari berbagai provinsi ada di tengah. Bagian depan para pemimpin sidang, penasehat, dewan kehormatan, dan dan tamu istimewa. Nampak Tribuana Said, Asro Kamal Rokan, Ilham Bintang, Wina Armada, Akhmad Munir, Mirza Zulhadi, Nurjaman Mohctar, Kesit Handoyo, Diapari Sibatang Kayu, dan sejumlah peninjau dari daerah. Disepakati acara dimulai pk.16.00
        Sesudah dibuka dengan lagu ‘Indonesia Raya’ dan pembacaan doa, ditampilkan “al Mukaram” Pers Indonesia, Tri Buana Said. Sesepuh Pers yang telah 84 tahun ini, dalam sambutannya membeberkan peristiwa konflik di PWI 54 tahun silam, di antara H. Rosihan Anwar dan BM Diah, sesama tokoh pers, sesama jurnalis koran ‘Merdeka’ di tahun 1970 dalam Kongres PWI Palembang. Konflik di antara kedua kubu berlangsung hingga tiga tahun dan beraroma ideologis, tapi tidak melibatkan pihak luar.
        Beda dengan konflik PWI Pusat 2024 ini - yang berlatar belakang penggelapan duit; ‘Cashback’ dan ‘Fee’. Muncul celetukan dari ‘floor’, agar nama Hendry Ch Bangun yang biasa dipanggil sebagai ‘HCB’ diganti namanya, menjadi ‘Hendry Cash Back’. Terdengar gelak tawa peserta
        “Semoga konflik kali ini cepat selesai,” kata Pak Tribuana Said berharap.
Lalu beliau menanyakan, apakah pers kita sudah memanfaatkan AI? Artificial Intelligence - kecerdasan buatan? Jika mampu manfaatkan, kata jurnalis yang lama di Jerman dan AS ini. “Namun tetap berpegang pada kejujuran dan memberi manfaat kebaikan kepada publik, ” ujarnya mengingatkan .        Selanjutnya naik ke panggung, para senior Ilham Bintang, Sasongko Tedjo dan Wina Armada selaku pimpinan sidang sementara (Sterring Committee) untuk mengantarkan kongres. Dimulai dengan mengabsen peserta dan delegasi dari daerah yang hadir. Ternyata ada 21 perwakilan PWI cabang yang datang. Artinya kurang dari 25 cabang, dari 39 cabang yang ada. Belum memenuhi quorum.
Akibatnya, sidang diskors selama lima menit, dan dilanjutkan dengan pengesahan, sesuai aturan kongres luar biasa. Dalam aturan, berapa pun cabang yang hadir dalam KLB, jika sudah diskors dan diperpanjang masa sidangnya, maka dianggap sudah memenuhi qourum.
        H. Ilham Bintang kemudian mempersilakan Mara Sakti Siregar selaku Ketua Pelaksana KLB, menyampaikan laporan. Mara Sakti pun memberikan singat padat. Penyelenggraan kongres itu untuk memenuhi aspirasi sebagian besar anggota di cabang dan daerah, untuk mendapatkan statsus dan kepastian hukum bagi kepengurusan PWI Pusat - kata jurnalis TEMPO dan tabloid C & R, pengajar dan penguji kompetensi wartawan ini, .
        Tak lama kemudian ditetapkan pimpinan sidang dimana terpilih Kesit Handoyo (PWI Jaya), Cak Lutfi (Jawa Timur) dan Sarjono (Sulawesi Tenggara).
        Saya duduk takzim mengikuti. Diawali dengan penegasan bahwa sidang meneguhkan keputusan Dewan Kehormatan sebelumnya untuk memberhentikan HCB dan mencabut keanggotaan PWI-nya. Selainjutnya memilih penggantinya.
        Mendadak muncul wajah familiar dan duduk di samping saya. Ternyata “orang lama” di pers televisi. Bachrul Alam, mantan penyiar dan produser RCTI. Kami pun terlibat obrolan asyik dan nostalgia. Tukar cerita. Saking asyiknya ngobrol bisik bisik, ternyata moment moment lain di persidangan terlewatkan. Tahu tahu sudah sampai ke penetapan Zulmansyah Sekedang sebagai Ketum PWI yang baru dan Sasongko Tedjo menjadi Ketua Dewan Kehormatan. Tok!tok!tok!
        Dua calon lainnya, Ahmad Munir dan Rajab Ritonga, memilih untuk mundur dari pencalonan, menjadikan Zulmansyah sebagai satu-satunya kandidat yang layak untuk dipilih. Dengan demikian, Zulmansyah terpilih secara aklamasi, menggantikan posisi Hendri CH Bangun yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Umum PWI.
 
 
 
        Tak ada suara protes dari floor, kecuali teriakan kata yang sama: “Setuju...!! Setuju..!!” - “Hidup PWI” - “Kembalikan martabat PWI” - “Tegakkan Martabat PWI”
        Dalam pidato pertamanya sebagai Ketua Umum PWI, Zulmansyah Sekedang menyampaikan komitmennya untuk menjalankan roda organisasi dengan menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme. Ia menekankan pentingnya menjaga marwah organisasi "Saya tidak akan melawan, saya siap disanksi jika melanggar," ujar Zulmansyah.
        KONGRES PWI 2024 di Mall Paragon, Jakarta Barat, 18 Agustus 2024 petang, berlangsung luaar biasaaa.. karena cepat, singkat, to the point, semua peserta senada seirama. Tak ada baku bakul dan baku hantam, kecuali usulan tambahan ini itu, sebagai bunga bunga acara. Semua usulan langsung diamini floor: “Setuju..setuju !!” bersahut sahutan. “PWI ?? Jayaa!! ” teriak TB Adhi dengan semangat. 
 
 
 
        Kongres diakhiri dengan makan malam yang lezat. Sebagian peserta memilih foto foto dan bercengkerama dengan Ketua Umum dan Ketua Dewan Kehormatan yang baru terpilih. Juga bercengkerama sesama peserta. Kapan lagi tegur sapa dengan delegasi PWI dari 21 provinsi?
Jelang pamit, saya menyalami Mara Sakti Siregar, Ketua Panitia Pelaksana KLB 2024 alias yang punya gawe. “Eh, tulisanmu bagus!” katanya sambil menyalami hangat.
        Berhubung beliau adalah jurnalis senior, editor kawakan, pengajar dan pelatih jurnalistik, penguji kompetensi wartawan, Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat, saya keluar ruangan dengan kepala tegak dan hidung kembang kempis. (dari FB Syahdanur)
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال