Lukisan karya Denny JA
Oleh YURNALDI
Menarik untuk dicermati, sebuah lukisan artificial intelligence karya Denny JA dengan subyek Paus Fransiskus membasuh kaki seorang lelaki dan kejadiannya seolah-olah di Indonesia (karena ada simbol bendera merah putih) yang disaksikan orang banyak dari berbagai suku, dan agama. Sebuah gambaran aktual tentang kemajemukan, multikultural . Juga ada burung merpati sebagai simbol perdamaian.
Lukisan itu menggambarkan sebuah harapan; ada kedamaian, tepa salira, dan toleransi. Keragaman dan kesetaraan menjadi kekuatan nyata, dan agar diskriminasi dan intoleransi bisa ditekan, maka keadilan hukum bagi setiap warga negara dan penegakan hukum yang efektif adalah sayarat yang tak bisa ditawar.
Bagi Paus, membasuh kaki yang sudah mentradisi sejak era Paus Yohames XX tahun 1959, adalah sebuah ritual untuk menekankan panggilan pelayanan dan kerendahan hati (kompas.id, 29/3/2024). Dan ketika Paus Fransiskus akan berkunjung ke Indonesia 3-6 September 2024, kerendahan hati Paus juga diharapkan bisa membawa kedamaian penduduk Indonesia yang beragam etnis, budaya, beragam agama dan kepercayaan, dan toleransinya semakin membaik.
Lukisan Denny JA menurut saya, selain sebuah harapan, juga sebuah sindiran keras, bahwa Indonesia tak masanya lagi mempertentangkan perbedaan etnis, perbedaan agama dan kepercayaan. Tak masanya lagi intoleran, melainkan harus toleran.
***
Sudah menjadi rahasia umum jika kehidupan bermasyarakat di tengah keragaman Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Selalu ada konflik yang mencuat akibat adanya sentimen antargolongan. Utopia kedamaian di tengah keberagaman yang dimimpikan Pancasila nampak semakin jauh untuk diraih jika melihat kondisi intoleransi antar agama di Indonesia.
Indonesia merupakan negara dengan enam agama resmi dan banyak kepercayaan lokal yang tersebar di penjuru wilayahnya. Populasi agama terbesar di Indonesia merupakan muslim dengan jumlah lebih dari 229 juta manusia yang setara dengan 13% populasi muslim dunia. Keragaman dan ketimpangan jumlah penganut agama ini seringkali menjadi penyebab konflik agama di Indonesia.
Laporan dari BBC News yang menyebutkan dalam sepuluh tahun terakhir terdapat setidaknya 200 gereja disegel dan ditolak warga. Tirto.id, salah satu portal berita daring juga menyebutkan hal serupa. Dalam publikasinya berjudul Kasus Intoleransi Terus Bersemi Saat Pandemi terdapat banyak praktik intoleransi pada umat minoritas selama masa pandemi.
Terlalu banyak kasus intoleran kalau kita beberkan satu per satu. Jika ditarik ke belakang, kasus intoleransi agama bukan hal baru dan sudah menjadi pekerjaan rumah lama. Kasus-kasus perpecahan agama seperti konflik umat Kristen dan muslim di Poso pada akhir tahun 90-an, konflik Ambon pada 1999 yang diawali pemalakan pemuda muslim pada warga nasrani yang kemudian menyebar dan membakar amarah, konflik Tolikara yang terjadi karena umat Gereja Injil Indonesia menyerang umat Islam yang sedang salat Idul Fitri di Markas Korem di Tolikara dan aparat keamanan tidak berdaya menghadapi massa Gidi, hingga konflik Situbondo pada 1996 akibat warga yang tidak puas atas hukuman yang diberikan kepada seorang penista agama Islam.
Bagai gajah di pelupuk mata yang tidak nampak, intoleransi dan diskriminasi agama ini bagaikan angin lalu yang tidak digubris dengan pelaku dibiarkan tanpa diadili. Muncul kekhawatiran ketika kondisi ini terus berulang, orang-orang akan menganggapnya hal yang normal. Padahal sebagai warga negara Indonesia, bukankah kedudukan semuanya sama dan tidak ada hirarki pada agama?
Intoleransi, sebagai akumulasi rentetan masalah-masalah dalam 50 tahun terakhir, nampaknya masih akan menjadi masalah serius dalam dekade mendatang.
Di antara masalah intoleransi paling menonjol yang kita hadapi sekarang adalah pelanggaran hak-hak minoritas agama baik oleh kelompok mayoritas maupun aparat negara dan lemahnya perlindungan hukum terhadap mereka.
Bentuknya beragam, dari mulai intimidasi, kriminalisasi, persekusi, ujaran kebencian, penyesatan, pembiaran, pemaksaan, pelarangan/pembubaran kegiatan hingga perusakan dan larangan pendirian rumah ibadah.
***
Sebagaimana ditunjukkan oleh peristiwa Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945, Indonesia dibangun di atas kesepakatan yang menempatkan keragaman, kesetaraan dan toleransi sebagai sumber kekuatan.
Betapapun, karena trauma 1965, dampak politik suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) Orde Baru, pukulan ekonomi akibat pandemi, dan jurang ekonomi dan sosial yang melebar serta politik identitas yang masih menjadi kecenderungan global, dalam 10 tahun ke depan tampaknya intoleransi masih akan menjadi tantangan serius bagi bangsa Indonesia.
Intoleransi telah menjadi salah satu topik yang paling sering dibicarakan di Indonesia. Hal ini terlihat dari meningkatnya konflik yang disebabkan tidak adanya sikap toleran dalam masyarakat.
Beberapa faktor yang berpengaruh langsung terhadap perilaku intoleran: fanatisme agama, ketidakpercayaan terhadap agama dan etnis lain, sekularisme, perasaan terancam, dan media sosial.
Karena pendidikan interkultural dipandang kurang berhasil dalam mengatasi konflik antargolongan dan masyarakat, maka menurut hemat saya perlu digagas pendidikan multikultural. Dalam pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural dominan atau mainstream.
Pendidikan miltikultural tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi pembentukan “keikaan” di tengah “kebhinnekaan” yang betul-betul aktual, tidak hanya sekadar slogan dan jargon.
(YURNALDI, adalah wakil ketua DPD SatuPena Sumatera Barat, wartawan utama, penulis puluhan buku, pelukis, dan juga penyair Indonesia. Kontak: 081261479920)