PADANG, AjarDetik.com – Keragaman ras, suku, budaya, dan agama yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia adalah sebuah berkah. Namun, bila tidak dikelola dan dibina dengan baik bisa menjadi potensi sumber konflik, yang dapat mengancam integritas nasional. Intuk itu diperlukan komitmen ulang seluruh bangsa dan upaya-upaya guna meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pembauran kebangsaan merupakan bagian penting dari kerukunan nasional dan upaya dalam meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Pembauran kebangsaan adalah proses integrasi (menyatunya) anggota masyarakat dari berbagai ras, suku, etnis, melalui interaksi sosial di berbagai bidang (bahasa, adat istiadat, seni budaya, pendidikan, dan perekonomian) untuk mewujudkan kebangsaan Indonesia tanpa harus menghilangkan identitas ras, suku, dan etnis masing-masing dalam kerangka NKRI.
Demikian ditegaskan Ketua Forum Pembauran Kebangsaan Sumatera Barat Dr. Otong Rosadi SH.,M.Hum., pada acara Peningkatan Wawasan Pembauran Kebangsaan bagi Tokoh Masyarakat Antaretnis di Kota Padang, Jumat (26/7/2024) di Gedung Seminar Balaikota Padang.
Diskusi Peningkatan Wawasan Pembauran Kebangsaan dipandu moderator Drs Elfian Putra Ifadi, M.Si (Foto Yurnaldi/AjarDetik.com)
Mantan Rektor Universitas Eka Sakti Padang ini menjelaskan, dalam konteks ekonomi, daerah-daerah mempunyai kewajiban melestarikan nilai sosial budaya, mengembangkan kehidupan demokrasi, melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, dna kerukunan nasional, dan upaya dalam meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa. “Bagi saya, pembauran kebangsaan itu berarti bersatunya keberagaman (saya, anda, dan dia) dalam ‘kita’,” ujar Otong.
Menurut Otong Rosadi, kita yang menjadi warga bangsa sekarang harus belajar [ada Kerajaan Kutai, yang bisa bertahan mulai sejak tahun 350 (pertengahan abad ke-4) hingga abad ke-16. Dari Yupa atau prasasti yang di atasnya banyak menceritakan sejarah dari kerajaan Kuta, kita dapat belajar mengaka Kutai mampu bertahan lebih dari 1200 tahun. Menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara (1300 hingga sekarang).
Pengurus paguyuban sembilan etnis mengikuti seminar Peningkatan Wawasan Pembauran Kebangsaan. (Foto Yurnaldi/Yurnaldi).
Kemudian juga perlu belajar pada Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 hingga abadke-12). Sriwijaya adalah kerajaan bahari terbesar yang memiliki pengaruh besar di seluruh penjuru Sumatera, sebagian Jawa bagian barat, Malaka, Kamboja hingga Thailand.
Pelajaran dari Kerajaan Singasari juga ada yang bisa kita ambil hikmahnya. Kerajan yang berdiri pada tahun 1222, besar dan hebat hingga menyebarkan wilayah kekuasaannya sampai ke Pulau Sumatera, Wilayah Kerajaan Singasari meliputi Melayu, Bali, Paham, Urun dan Bakulapura saat mengalami masa keemasan.
“Dari Kerajaan Majapahit, yang nyaris menaklukkan semua wilayah nusantara. Dibentuk tahun 1293, kerajaan di Jawa hingga Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi (200 tahun). Kita berindonesia ini, belum apa-apa. Tapi, cukup jugalah melakukan pembauran ini,” jelas Ketua FPK Sumatera Barat ini.
Menurut Otong, problema dalam relasi kebhinnekaan seperti lemahnya kesadaran kebangsaan; sejarah bangsa, wawasan kebangsaan, nilai persatuan, gotong royong dan kebersamaan. Potensi konflik yang mulai menguat, baik konflik verstikal maupun konflik horizontal. Disain sistem politik: keterbelahan politik. Juga problema ketidakadilan ekonomi, penegakan hukum dan HAM yang diskriminatif, akses pendidikan dan layanan kesehatan yang tidak adil, ketidakadilan politik dan diskriminasi sosial menjadi simpul pemicu konflik SARA. Dan juga kurangnya dialog antaretnik.
“Forum Pembauran Kebangsaan menjadi penting, karena merupakan strategi kultural dalam merawat keragaman bangsa. Keragaman berpengaruh pada perkembangan kehidupan bangsa dan keutuhan NKRI,” demikian Otong Rosadi.
Peserta foto bersama dengan kedua narasumber. (Foto Yurnaldi/AjarDetik.com)
Untuk itu, Ketua FPK Sumatera Barat ini verharap pemerintah Kabupaten/Kota/Provinsi hendaknya memberikan anggaran APBD yang memadai untuk kegiatan Forum Pembauran Kebangsaan. Karena keberadaannya untuk menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan pembauran kebangsaan. Pembauran kebangsaan adalah strategi kultural dalam merawat keragaman bangsa, karena keragaman berpengaruh pada perkembangan kehidupan bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sementara Ketua Forum Pembauran Kebangsaan Kota Padang Drs. H. Suardi Z Datuk Garang mengatakan, FPK yang dalam pelaksanaannya sudah didukung Undang-undang, Permendagri, Peraturan Gubernur Sumbar, tahun-tahun mendatang diharapkan mendapat porsi APBD yang memadai, sehingga bisa berkegiatan secara maksimal.
“Tugas dan kewajiban FPK di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa (nagari) adalah menjaring dan menampung aspirasi masyarakat di bidang pembauran kebangsaan. Menyelenggarakan forum dialog dengan pimpinan organisasi FPK, pemuka adat, agama, suku dan masyarakat. Menyelenggarakan sosialisasi kebijakan yang berkaitan dengan pembauran kebangsaan. Kemudian, merumuskan rekomendasi kepada gubernur sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pembauran kebangsaan,” katanya.
Berbagai etnis di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, bersatu dalam Forum Pembauran Kebangsaan. (Foto Yurnaldi/AjarDetik.com)
Senada dengan Otong Rosadi, Suardi yang berbicara di hadapan 60 tokoh masyarakat dari sembilan etnik di Kota Padang juga mengemukakan kemungkinan ancaman/tantangan Indonesia ke depan, seperti lemahnya pemahaman aktualisasi wawasan kebangsaan. Menurunnya semangat kebangsaan, kebhinnekaan, rasa persatuan/kesatuan. Kurangnya pemahaman nilai-nilai dasar Pancasila dan wawasan kebangsan. Ancaman lain berupa konflik SARA dan meningkatnya kekerasan.
“Ancaman lain berupa pengaruh global dengan ideologi kapitalisme dan kemajuan Iptek dengan ekses negatif. Lemahnya semangat kebersamaan dan kegotongroyongan. Rendahnya penghargaan pada simbol-simbol negara. Otonomi daerah dengan pelaksanaannya cenderung menyimpang dan penyalahgunaan wewenang, serta rendahnya keteladanan,” jelas Ketua FPK Kota Padang itu. (YURNALDI)