Cerita Mini : Perlu Persiapan


Oleh: WANDRA ILYAS
 
 
Bulan yang lalu, kami menghadiri pesta pernikahan anak kerabat dekat kami. Bapaknya berasal dari Suku Mandailing Sumatera Utara. Ada satu acara yang disebut “mangupa-upa”. Artinya, ungkapan doa yang diselingi nasihat, dari orang tua dan keluarga kepada kedua pengantin. Kegiatan tersebut dilaksanakan setelah acara "ijab qabul".
 
                                                                        ****
Ada beberapa nasihat dari orang tua dan keluarga, yang dapat kami catat. Sungguh luar biasa ! Kami amat terkesan. “Satu, jika di masa sebelum menikah kamu adalah gadis yang memiliki sifat egois. Maka sifat ini wajib kamu tinggalkan, ketika kamu telah memiliki suami. Dua, bangun lebih cepat dari suami, mempersiapkan segala keperluan. Termasuk memasak adalah hal wajib dikerjakan oleh seorang wanita ketika dia telah menjadi seorang isteri. Tiga, sesibuk apapun seorang suami untuk mencari nafkah, sediakan waktu untuk keluarga. Semua yang di luar itu bisa dinomorduakan.
.
Empat, terkadang pasangan itu butuh didengarkan ucapannya. Bisa jadi dia ingin berbagi kesedihan. Lima, apabila telah terjadi pernikahan, maka orang tua atau keluarga pihak perempuan telah menjadi orang tua atau keluarga pihak laki-laki. Begitu juga sebaliknya. Seperti ungkapan: “kita yang menikah. keluarga ikut kawin”. Enam, apapun bentuk pertengkaran atau permasalahan yang terjadi di dalam rumah tangga. Orang lain tidak boleh tahu. Selesaikan berdua ! Sekiranya, pihak keluarga tahu. Semua komentar mereka, hanya sebagai bahan masukan atau pertimbangan. Sebab, yang tahu permasalahan dan yang akan menjalani hasil sebuah keputusan adalah kalian berdua. Bukan pihak lain atau sanak keluarga sekalipun".
 
                                                                        ****
Di Ranah Minang Sumatera Barat, nasihat semacam itu, sudah merupakan budaya atau kebiasaan. “Datuak” atau “Bundo Kanduang”, selalu memberikan bimbingan dan nasihat kepada anak-kemenakan mereka yang sudah beranjak dewasa. Pola semacam itu, sudah dilakukan sejak lama. Bahkan ada suku atau kelompok keluarga, yang masih melakukan hal semacam itu sampai sekarang. Misalnya, memberikan nasihat tentang kriteria dalam memilih pasangan hidup. Sesuai tuntunan Islam, lebih diutamakan yang “sekufu”. Maksudnya kesesuaian atau kesetaraan dalam pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita dalam berbagai aspek.
.
Aspek-aspek yang dimaksud adalah: Satu, memilih pasangan yang baik hartanya. Sebab tidak bisa dipungkiri, harta memang salah satu aspek dalam menunjang keberhasilan kehidupan rumah tangga. Dua, memilih pasangan yang baik keturunannya. Misalnya memilih pasangan dari anak ulama, bangsawan, cendekiawan serta lainnya. Karena biasanya, “Buah jatuh tidak akan jauh dari batangnya”. Tiga, memilih pasangan yang cantik atau gagah. Pilihan semacam itu merupakan hal yang wajar. Asalkan kepribadiannya juga mendukung kecantikan dan kegagahannya. Empat, memilih pasangan yang baik agamanya. Kriteria yang terakhir inilah yang paling utama untuk memilih pasangan hidup.
 
                                                                        ****
Namun, lain dahulu lain sekarang. Zaman telah berubah. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat sangat berperan. Termasuk pengaruh budaya asing. Fungsi Datuak dan Bundo Kanduang di Ranah Minang sudah mulai bergeser. Bahkan makin lama makin sirna. Kini, tugas itu sudah banyak diambil alih oleh kedua orang tua, untuk membimbing dan mengarahkan anak-anak mereka. Terutama sekali masalah perkawinan dan rumah tangga. Ketika mereka telah mulai beranjak dewasa.
.
Mereka diajak untuk terbuka. Mau berdiskusi dan duduk bersama dengan kedua orang tua mereka. Sebab, menjalani kehidupan berumah tangga, bukanlah hal yang mudah. Bukan pula untuk waktu yang sebentar atau sekejap. Artinya, bukan untuk satu hari, seminggu, sebulan atau untuk beberapa tahun. Tapi, akan dijalani dalam waktu yang panjang bahkan sampai ajal menjemput.
.
Tak ubahnya seperti seorang nakhoda kapal. Dia harus diberi ilmu pengetahuan dan wawasan tentang menghadapi ombak, badai dan gelombang selama mengharungi lautan lepas. Tentu dia akan menjadi seorang nakhoda yang bertanggung jawab, punya sikap dan peduli dengan seluruh penumpang yang ada di atas kapalnya.
 
                                                                        ****
Akhirnya…saya jadi teringat akan ucapan dosen bahasa saya alamarhum Prof. Rizanur Ghani. Beliau pernah berucap: “Naik tanpa persiapan akan turun tanpa kehormatan”. Ungkapan itu, bila dikaitkan dengan masalah perkawinan atau rumah tangga masih sangat relevan. Maksudnya, perkawinan yang dilaksanakan tanpa persiapan, diyakini akan berakhir dengan kegagalan.***
 
(WANDRA ILYAS adalah sastrawan, tinggal di Padang, Sumatera Barat)
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال