Illustrasi memimpikan jadi guru besar. (Foto ilustrasi/Yurnaldi-Ajardetik.com)
PADANG, AjarDetik.com -- Guru besar adalah pencapaian jabatan akademik tertinggi yang bisa diraih dosen. Bagi individu, pencapaian ini berarti reputasi dan keuntungan materi karena gaji dosen berbanding lurus dengan jabatan akademis yang dimiliki.
Sementara bagi universitas, pencapaian akademis tertinggi ini bisa dikonversi menjadi keuntungan finansial.
Sebab, semakin banyak guru besar yang dimiliki, semakin besar peluang mendapatkan akreditasi “unggul”, peringkat tertinggi bagi perguruan tinggi. Status akreditasi unggul ini akan membuat semakin banyak mahasiswa tertarik mendaftar, yang berarti semakin banyak pula pendapatan yang diterima.
“Karena pendidikan tinggi di Indonesia sekarang cenderung pro liberalisme, bagaimana caranya jumlah guru besar (harus) banyak,” ujar Masduki, guru besar Media dan Jurnalisme dari Universitas Islam Indonesia (UII) yang juga seorang aktivis pro kebebasan akademis.
Namun, syarat menjadi guru besar tidaklah mudah. Panduan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengatur bahwa untuk menjadi guru besar, dosen harus memenuhi beberapa persyaratan, salah satunya adalah menerbitkan karya ilmiah dalam jurnal internasional bereputasi.
Standar yang tinggi ini disinyalir menjadi salah satu alasan mengapa jumlah guru besar di Indonesia masih sedikit. Saat ini, jumlah guru besar di Indonesia hanya 2% dari 314.100 dosen aktif di 4.476 perguruan tinggi.
Angka ini tidak mencapai separuh dari persentase guru besar di Malaysia, yang pada tahun 2018 saja sudah mencapai 5,65% dari total dosen aktif.
Program percepatan guru besar
Beberapa perguruan tinggi mencoba merespons kekurangan guru besar mereka dengan menciptakan program percepatan guru besar. Menurut Masduki, program ini dimotivasi oleh ukuran-ukuran berdasarkan kuantitas (metrik)—yang dihitung yang kuantitasnya banyak. Salah satu yang paling awal menginisiasi adalah Universitas Hang Tuah, Surabaya, Jawa Timur. yang memulai program percepatan sejak 2017.
Sayangnya, program yang awalnya bertujuan meningkatkan kecakapan dosen untuk mencapai status guru besar ini, berubah menjadi bumerang karena menciptakan ekosistem perjokian karya ilmiah internal..
“Program percepatan guru besar ini dilakukan secara intensif tahun lalu karena mau ada perubahan peraturan (Kemendikbudristek) terkait angka kredit (dosen). Harus diajukan. Kalau tidak, tidak berlaku,” jelas Masduki.
Tak heran, investigasi Kompas tahun 2023 menemukan sejumlah dosen senior di beberapa universitas seperti Universitas Negeri Padang (UNP) di Sumatera Barat, Universitas Brawijaya (UB) Malang di Jawa Timur, terlibat praktik perjokian karya ilmiah demi memuluskan proses kenaikan pangkat mereka menjadi guru besar.
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 39 Tahun 2021 tentang integritas akademik dalam menghasilkan karya ilmiah mengidentifikasi perjokian ilmiah ini sebagai salah satu bentuk praktik pelanggaran akademik yang biasa dikenal dengan nama ghostwriting. Praktik ini melibatkan seseorang yang berkontribusi signifikan terhadap penelitian atau penulisan naskah tetapi tidak terdaftar sebagai penulis.
Selain perjokian, modus yang belakangan muncul adalah pencatutan nama dosen lain tanpa izin, seperti yang dilakukan oleh guru besar termuda Universitas Nasional (UNAS) di Jakarta, Kumba Digdowiseiso, dalam artikel-artikel ilmiah yang beberapa di antaranya diterbitkan di jurnal predator—jurnal dengan proses publikasi yang tidak melalui tahap peninjauan ilmiah sehingga kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Praktik ini diperparah dengan adanya modus untuk meminta mahasiswa atau rekan sesama dosen untuk mengutip artikel mereka.
Hal ini diungkapkan oleh Dewi (bukan nama sebenarnya), dosen di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) di Yogyakarta. Kepada The Conversation Indonesia, ia mengaku sering dicurhati mahasiswa yang dipaksa mengutip publikasi oleh seorang dosen, terlepas dari relevansinya dengan riset mahasiswa tersebut, demi menaikkan sitasi.
Sitasi adalah pengutipan satu kalimat atau lebih dari karya tulisan lain untuk tujuan ilustrasi atau memperkuat argumen dalam tulisan sendiri.
“Pemerintah punya target tertentu misal indeksasi, sitasi. Itu diturunkan di dalam tata kelola perguruan tinggi (seperti) karir dosen, akreditasi institusi, proses kerja dosen, peta jalan dosen yang semakin direduksi hanya punya publikasi atau tidak,” jelas Masduki.
Akibatnya, Masduki menambahkan, dosen selalu dalam situasi ketegangan terkait jumlah angka kredit yang harus dipenuhi ketika akan mengajukan pangkat.
Solusi sejauh ini
Baik pemerintah maupun pihak universitas sudah melakukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran akademis dalam proses kenaikan jabatan menjadi guru besar. Sebut saja penilaian yang ketat, open review—tinjauan terbuka oleh para ahli yang relevan di bidangnya dan identitasnya diketahui—, pembentukan tim komite etik, kajian tim independen, hingga pembukaan saluran pengaduan.
Kemendikbudristek telah meluncurkan Anjungan Integritas Akademik Indonesia (ANJANI)—portal untuk memonitor dan menjaga integritas akademik. ANJANI memuat sarana perangkat lunak untuk mendeteksi kesamaan karya ilmiah dalam mengukur tingkat plagiarisme suatu karya ilmiah.
Portal ini juga bisa digunakan untuk melaporkan tindakan pelanggaran akademik sesuai standar dan prosedur pengaduan.
Di level internal, Kemendikbudristek sudah lama memiliki Inspektorat Jendral yang bertugas menindaklanjuti laporan yang masuk.
Namun, fungsi pengaduan ini belum banyak diketahui publik.
Rina, (bukan nama sebenarnya), seorang dosen di salah satu universitas negeri di Yogyakarta yang menjadi korban plagiasi, menuturkan bahwa dia tidak mengetahui sistem pengaduan ini. Dia mengurus sendiri semua tindak lanjut dari kasus yang menimpanya. Mulai dari mengumpulkan bukti korespondensi dan hasil cek turnitin—perangkat untuk mengecek plagiasi pada karya ilmiah—hingga menghubungi kampus-kampus tempat penulis-penulis yang memplagiasi karyanya bekerja dan kuliah S3. Tujuannya untuk meminta ketegasan sanksi akademik dan administratif bagi pelaku.
Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran akademik yang dikembalikan ke kampus masing-masing membuat banyak pihak menilai bahwa sanksi yang diberikan tidak memberikan efek jera.
Sayangnya, hingga artikel ini terbit, pihak Direktorat Jenderal Pendidikan, Riset, dan Teknologi (Ditjen Dikti) di bawah Kemendikbudristek tidak memberikan komentar terkait hal ini meski sudah dihubungi berulang kali. Dalam pesan WhatsApp kepada Tempo pada 16 April 2024, mereka menyebutkan bahwa surat yang berisi pertanyaan wawancara dari tim #SelisikIntegritasAkademis masih diteruskan ke Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) Ditjen Dikti.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Abdul Haris, hanya memberikan komentar ketika ditanya soal kasus (UNAS). Menurutnya, kasus dugaan pencatutan nama dosen Universitas Malaysia Terengganu (UMT) oleh dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UNAS, Kumba Digdowiseiso tersebut, berkaitan dengan integritas individu bukan tingginya tuntutan kuantitas publikasi jurnal ilmiah dari pemerintah.
Kumba sendiri, dalam keterangan persnya, memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai dekan dengan alasan tidak mau membebani kampus dalam melakukan investigasi terhadap tuduhan pelanggaran akademis yang ditujukan padanya.
Apa yang bisa dilakukan?
Sigit Riyanto, guru besar bidang hukum dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menengarai penyebab lemahnya penegakan integritas akademik ini ada pada rendahnya komitmen pemerintah dan perguruan tinggi.
Sigit merujuk pada beberapa kasus laporan pelanggaran yang, meskipun ada buktinya, dan sudah melalui proses investigasi serta verifikasi, tidak pernah diproses secara konsisten.
“Dari pengalaman saya, ada hipokrisi di berbagai level. Dari level universitas hingga di Kementerian…Mestinya ketika ada bukti bahwa yang bersangkutan melakukan pelanggaran, atau prestasinya tidak dicapai dengan cara yang benar, gelarnya dicabut,” terangnya.
Menurut Sigit, hal ini bisa diatasi dengan memperkuat jaringan kolega akademis berintegritas. Sehingga, kasus pelanggaran akademis bisa diangkat dan diproses secara kolektif hingga selesai. Ini termasuk mengidentifikasi pelanggaran akademis, berbicara dengan media sebagai langkah kontrol, advokasi dan edukasi, serta mendesak Kemendikbudristek untuk serius menangani kasus-kasus pelanggaran akademis.
Selain itu, Sigit menyarankan dibentuknya tim ad hoc yang beranggotakan tidak hanya internal dari inspektorat jenderal perguruan tinggi tapi juga ahli-ahli dari eksternal semisal jurnalis atau akademisi, sehingga penilaiannya lebih objektif. Tim ini bertujuan untuk memeriksa dan merekomendasikan penjatuhan sanksi yang proporsional (sesuai berat ringan kesalahan), adil, dan tegas.
“Tim ini sebaiknya berisi mereka-mereka yang tidak rentan risiko semisal guru besar yang jabatan akademiknya sudah mentok, sehingga tidak perlu khawatir berurusan dengan ditjen, angka kredit, dan lain-lain,” sarannya.
Hal senada juga dilontarkan oleh Idhamsyah Eka Putra, dosen Universitas Persada Indonesia dan Anggota Dewan Pengarah Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA). Ia menyebutkan bahwa evaluasi pelanggaran akademis perlu melibatkan evaluator eksternal.
“Untuk lebih amannya, evaluator asing (luar negeri) yang berasal dari komunitas ilmiah masing-masing,” usulnya.
Sigit juga menekankan pentingnya melibatkan media untuk membuka dan menyebarluaskan informasi terkait pelanggaran akademis, sehingga publik bisa melakukan mekanisme pengawasan dan tekanan untuk mendorong institusi yang punya otoritas melakukan tugasnya.
“Saya kira itu penting. No viral, no justice,” tutupnya.(NAL/theconversation.com)