Masyarakat Mentawai dengan tato tradisionalnya. (Foto Yurnaldi/AjarDetik.com)
Oleh Juniator Tulius
Antropolog Mentawai
Sebelum saya menulis sanggahan dan tanggapan saya, saya
Juniator Tulius,
menyelesaikan studi antropologi di Universitas Andalas,
kemudian saya melanjutkan
pendidikan magister dan doktoral saya di Universitas
Leiden Belanda. Semua penelitian dan
karya tulis saya tentang Mentawai dengan berbagai cakupan
bidang yang membuat saya
tidak saja meneliti di satu daerah saja di Mentawai dan
tidak hanya beberapa bulan di
lapangan tetapi selama 23 tahun karier saya sebagai
antropolog, membuat saya menjelajahi
hampir seluruh daerah di Kepulauan Mentawai dan itu
selama berulang-ulang. Ditambah
lagi sebagai orang Mentawai yang lahir dan besar di
Mentawai dan menguasai sembilan
dari 11 dialek bahasa Mentawai, memampukan saya memahami
lebih baik kebudayaan
Mentawai. Ijasah luar negeri saya telah diverifikasi oleh
Dirjen Pendidikan Tinggi di Jakarta
yang membuat saya memiliki kompentensi dan kapasitas di
bidang keilmuan yang saya raih
di luar negeri dan keilmuan saya itu dapat dipergunakan
secara resmi di Indonesia.
Berawal dari pemberitaan Tato Mentawai Tertua di Dunia di
media-media digital (media
online) membuat saya menelusuri lebih dalam dasar
pengambilan kesimpulan itu secara
akademik. Sebagai seorang antropolog Mentawai dan
sekaligus sebagai orang Mentawai,
pernyataan “Tato Mentawai Tertua di Dunia” secara instan
merasa bangga. Tetapi rasa
bangga saya itu terganggu oleh pemikiran lain: “Tertua di
Dunia” yang membuat saya
berpikir dan bertanya, apa benar tato Mentawai itu tertua
(yang lain lebih muda) di dunia?
Mulailah saya mencari informasi tentang topik itu di
Internet dan saya mendapatkan lebih
dari 20 media online sejak 2010 hingga 2023
mempublikasikan berita itu. Saya
mengumpulkan berita itu semua dan mencetaknya untuk
dipelajari satu per satu. Hampir
semua berita itu berisi informasi yang sama, bahkan ada
yang copy-paste. Sumber
informasi tentang tato Mentawai itu berasal dari hasil
penelitian dan tesis dari (Alm.) Ady
Rosa. Lewat internet, saya memperoleh link tesis magister
dari Ady Rosa berjudul
“Eksistensi Tato sebagai Salah Satu Karya Seni Rupa
Tradisional Masyarakat Mentawai”
(1994), laporan dari hasil penelitian Pusat Bahasa
berjudul “Kajian Semiotik dan Mitologis
terhadap Tato Masyarakat Tradisional Kepulauan Mentawai”
(2001), dan terakhir saya
menerima kiriman buku dari seorang teman, berjudul “Tato
Mentawai Tertua di Dunia”
(2022), yang disunting oleh Soesilo Abadi Piliang dan
Dibya Prayassila Somya Rosa, anak
dari Alm. Ady Rosa. Dengan membandingkan ketiga buku ini,
saya mendapat kesan bahwa
isi dari ketiga buku ini berasal dari tesis magister Alm.
Ady Rosa yang hampir sama. Yang
memberdakannya ilustrasi dan penambahan informasi sebagai
pelengkap dari satu buku ke
buku lain.
Saya membaca ketiga referensi itu secara hati-hati agar
dapat menemukan apa yang
dijadikan acuan oleh penulis untuk menyebutkan tato di
Mentawai itu tertua di Dunia.
Karena buku “Tato Mentawai Tertua di Dunia” (2022)
diangkat dari tesis magister Ady Rosa,
maka isinya tidak jauh berbeda; hanya susunan dari tesis
berubah di dalam bentuk buku
karena menyesuaikan format penulisan buku. Sedikit
berbeda dengan buku Kajian Semiotik
dan Mitologis terhadap Tato Masyarakat Tradisional
Kepulauan Mentawai bila dibandingkan
kedua sumber literatur yang lain. Di buku kajian semiotik
terdapat ilustrasi dan gambar
motif-motif tato Mentawai.
Dalam proses pengulasan ketiga buku itu, saya ingin
mengungkap dimana atau bagian apa
dari tato Mentawai yang menunjukkan karakteristiknya yang
merepresentasikannya sebagai
tato tertua di dunia. Atau, barangkali saya dapat
memperoleh bukti lain seperti waktu atau
masa dimana peneliti menemukan tato Mentawai sudah ada.
Saya tidak menemukan bukti
ilmiah yang dapat diuji kebenarannya. Dalam uraian
literatur, penulis Ady Rosa berasumsi
panjang lebar tentang migrasi manusia Proto-Melayu yang
sampai ke Mentawai. Mengutip
beberapa literatur tentang sejarah dan prasejarah dari
Indonesia serta mencoba
menghubung-hubungkan antara gambar dan bentuk karya seni
di Mentawai dan Dongsong,
penulis mencoba membangun asumsinya bahwa Orang Mentawai
itu berasal dari Indocina
yang bermigrasi ke Nusantara sekitar 1500 Sebelum Masehi
(SM) hingga 500 Sebelum
Masehi. Hanya saja secara persis kapan orang-orang
Proto-Melayu itu sampai ke Mentawai,
tidak dijelaskan. Apakah persis pada 1500 SM, atau
mungkin 1000 SM atau 500 SM, tidak
jelas karena asumsi itu hanya mengutip karya tulis
peneliti lain. Penyebutan tahun 1500 SM
sampai 500 SM terdapat 1000 tahun rentang waktu. Penulis
tidak menyatakan secara persis
di mana dan kapan dalam rentang waktu itu orang-orang
Proto-Melayu itu sampai ke
Mentawai. Penulis hanya mengutip referensi yang ada untuk
membangun asumsi atau
argumen ilmiahnya, dengan memilih literatur tertentu,
yang juga tidak berbicara secara
khusus tentang Mentawai.
Kemudian, penulis juga gagal menghadirkan bukti bahwa
orang Proto-Melayu yang sampai
ke Mentawai itu, apakah kulit mereka sudah bertato atau
belum. Penulis tidak menujukkan
pada motif-motif apa yang mengkarakteristikan tato
Mentawai itu sebagai tradisi tertua di
dunia, yang hanya ditemukan di Mentawai dan tidak ditemukan
di tempat lain.
Berbeda informasi yang diberikan oleh Encyclopedia
Americana yang dirujuk oleh penulis
sendiri bahwa ditemukan mumi di Mesir dan di kulit mumi
ditemukan adanya tato sebagai
bukti autentik adanya praktek tato di Mesir pada 1300 SM.
Bukti adanya tato pada kurun
waktu tertentu menjelaskan usia sebuah tradisi.
Sebenarnya penulis buku tato tertua di dunia ini sendiri
sudah memberi indikasi bahwa
tradisi tato itu merupakan tradisi “prasejarah”, artinya
tradisi yang dipraktekkan tetapi tidak
ada catatan atau bukti tertulis kapan dimulai dan dimana
berawal. Kalau kita pahami kata
“prasejarah”, maka tidak perlu memaksa diri menyimpulkan
tato Mentawai sebagai tradisi
tertua, karena perbandingannya tidak ada. Bagaimana kita
mengatakan sesuatu itu tertua
kalau waktu pembentukan dan permulaan dari tradisi itu
tidak punya. Sesuatu dapat
dikatakan tua, lebih tua atau tertua (paling tua), bila
ada indikasi waktu yang jelas.
Membandingkan temuan tato di Mesir yang berusia 1300 SM
dengan perpindahan manusia
Proto-Melayu dari daerah asal mereka ke seluruh Nusantara
selama proses 1000 tahun,
sangat tidak berhubungan untuk dipakai sebagai
justifikasi tradisi tato di Mentawai. Karena,
di Mesir memang ditemukan mumi bertato, sementara orang
Proto-Melayu tidak hadir bukti
keberadaan tradisi tato pada masa itu. Penulis hanya
bercerita soal migrasi manusia yang
tidak diketahui apakah sudah bertato atau belum dan
penggunaan waktu 1000 tahun
bukanlah masa yang singkat. Dalam 1000 tahun peradaban
manusia dapat terjadi banyak
perubahan. Seharusnya penulis fokus pada tatonya bukan
pada migrasi manusia yang
memiliki karya seni mirip motif seperti tato yang
terdapat di dinding rumah. Berdasarkan
pemaparan di atas itulah saya menyanggah bahwa tato
Mentawai bukanlah tato tertua dan
tidak akan pernah ada tato tertua di dunia dengan tidak
adanya bukti tertulis yang dijadikan
rujukan untuk membandingkan satu tato lebih tua atau
tertua dari tato yang lain, bila kita
lihat banyak tradisi tato di dunia yang berangkat dari
masa prasejarah.
Tato adalah salah satu tradisi tua di antara
tradisi-tradisi lainnya seperti perdukunan,
kepercayaan tradisional, dan sistem pengetahuan lokal
lainnya, karena berangkat di masa
lalu dan menjadi bagian kebudayaan sebuah masyarakat di
masa sekarang. Dari tradisi tato
banyak hal yang digali tetapi penulis gagal
mengungkapkannya, misalnya hubungan tradisi
tato dengan tradisi pengayawan yang sangat erat kaitannya
satu dengan yang lain. Tradisi
pengayawan dan praktek penatoan ditemukan di hampir semua
masyarakat yang
mempraktekkan tato seperti di komunitas Nagaland di
perbatan India dan Myanmar, di
Ifugao dan Ilongot di Filipina. Dayak Kalimantan tradisi
tato juga erat kaitannya dengan
pengayawan. Dasar penatoan di badan manusia terhubungan
dengan praktek pengayawan
juga terjadi di Mentawai. Maka motif tato dimaksudkan
menjadi pelindung, penyelamat bagi
pengayaw selain aspek estetika dan simbol identitas
kelompok masyarakat. Aspek ritual tato
yang lebih mendasar dan dalam justru tidak diulas oleh
sipenulis. Tetapi hal itu dimaklumi
karena penulis memberi perhatian pada aspek estetika,
semiotik dan seni dari tato, bukan
pada dimensi ritualnya.
Kalau kita baca literatur tato yang tidak hanya membahas
satu daerah, kita akan dapat
informasi yang luar biasa dimana tato tidak saja seninya
tetapi lebih dalam, yakni ritual dan
praktek-praktek tradisi lain. Saya membaca “The world of
tattoo” dari Van Dinter (2005),
“The social semiotics of tattoos: Skin and Self” dari
Chris William Martin (2018), “The world
atlas of tattoo” dari Anna Fecility Friedman (2019),
“Spiritual tattoo: a cultural history of
tattooing, piercing, scarification, banding, and implants”
dari John A. Rush (2005),
“Tumbangnya sebuah aspek kebudayaan Mentawai: Tato” dari
Ginarti K (1985), “Een en
ander over het tatoueeren bij de Mentawaiers” dari Van
Beukering (1941) dan masih banyak
literatur lainnya yang tak perlu saya daftarkan disini.
Literatur itu semua memperkaya
pengetahuan saya dan menjadi landasan saya melihat dan
menilai apa yang ditulis oleh
sipenulis peneliti tato di Mentawai tersebut. Saya tidak
tahu apakah Yurnaldi membaca
literatur itu? Saya kira tidak, karena menurutnya, “Ketika
penelitian kami –Ady Rosa dan
Yurnaldi-- lakukan tahun 1992-1993, di sejumlah desa di
Pulau Siberut, belum pernah ada
penelitian sebelumnya soal Tato Mentawai.” Saya jadi
heran, Van Beukering tahun 1941 itu
menerbitkan apa? Dipahami kalau Yurnaldi tidak paham
bahasa Belanda. Tapi bagaimana
dengan tulisan Ginarti K yang isinya dikutip oleh Ady
Rosa tetapi tidak menyebutkan nama
Ginarti sebagai penulis makalah itu. Pernyataan Yurnaldi,
“belum ada penelitian sebelumnya
soal tato Mentawai”, barangkali publikasi-publikasi dari
hasil penelitian tato sebelumnya, itu
terlewatkan olehnya.
Saya tidak akan membahas secara detail jumlah kekeliruan
penulisan istilah Mentawai yang
dipakai untuk menjelaskan motif tato. Saya mengambil
beberapa contoh saja: penulis
menulis adanya motif silioi, yang seharusnya: salio,
motif sunancura (rusa) yang seharusnya
adalah motif simancura atau simatcura, motif sakkole
(babi) yang seharusnya adalah
sakkokok atau sakkoilok atau saina, motif sakoyuan
(buaya) yang seharusnya adalah motif
sikaoinan atau boiyak. Ini hanyalah beberapa kekeliruan
penulisan dan penjelasan dalam
istilah Mentawai. Belum lagi kalau ditelaah dengan benar
penjabaran dari istilah-istilah itu.
Adanya banyak kekeliruan dan alur logika yang dipaparkan
membuat saya melihat bahwa
buku ini belum layak dijadikan landasan ilmiah atau
rujukan akademik. Perlu banyak
perbaikan sebelum kemudian dapat dijadikan sebagai
referensi ilmiah.
Kembali ke tulisan Yurnaldi, saya tidak banyak komentar
karena beliau adalah wartawan
bukan akademisi. Seorang akademisi seperti Alm. Ady Rosa
mengerti metodologi, teori dan
alur berpikir logis-akademis. Yang menarik dari tulisan
Yurnaldi adalah bahwa “dasa warsa
terakhir banyak merajalela informasi hoaks.” Bicara
tentang hoaks, saya menelusuri di
Internet tentang tato tertua di dunia dan saya
mendapatkan lebih 20 website media online
yang menerbitkan berita tentang tato Mentawai tertua
didunia sejak 2010 hingga 2023.
Selama 13 tahun, kalau boleh kita sebutkan, bahwa hoaks
tentang tato Mentawai tersebar di
dunia maya, yang mana berita yang satu dengan yang lain
tidak jauh berbeda bahkan
terkesan copy-paste. Bahkan mengutip sumber informasipun
keliru, misalnya di tulisan Ady
Rosa disebutkan sumber dari Encyclopedia Americana tetapi
para jurnalis menulisnya
Encyclopedia Britanica. Kekeliruan semacan ini begitu
saja disadur oleh generasi muda
yang menyelesaikan tugas akhir skrispi bahkan tugas
magister mereka. Sangat
disayangkan bahwa kekeliruan menjadi berulang-ulang
terjadi dan bahkan diyakini sebagai
sebuah kebenaran. Sepertinya kalau sebuah kekeliruan bila
diulang-ulang akan menjadi
kebenaran, hampir terbukti di dalam kasus ini. Eforia
sekelompok masyarakat yang tidak
mengerti kajian akademik yang keliru ini, hanya dapat
berbangga dengan pernyataan tato
Mentawai tertua di dunia tanpa mengerti apa dasar dan
bukti pendukungnya dari sisi tato itu
sendiri.
Terkait dengan MURI yang menerbitkan Piagam Penghargaan
untuk Desa Muntei dimana
saya menulis surat untuk meminta klarifikasi yang tidak
ditanggapi dengan alasan yang tidak
jelas. Daripada menanggapi surat saya, seorang pejabat di
MURI memberikan nomor
Whatsup saya kepada seseorang dan orang tersebut
menghubungi saya untuk ingin belajar
tentang Mentawai. Orang tersebut tidak merepresentasikan
MURI. Aneh! Tidak menjawab
saya tapi memberikan nomor Whatsup saya kepada orang
lain. Pertanyaan saya sederhana
kepada MURI, apakan landasan atau dasar penerbitan piagam
penghargaan untuk Desa
Muntei memiliki tato tertua seperti tertulis dalam naskah
piagam tersebut secara akademis.
Keberatan saya seperti saya jelaskan diatas terkait
kajian Alm. Ady Rosa yang disinyalir
sebagai dasar kajian akademis penerbitan piagam tersebut.
Dalam naskah Piagam MURI sendiri terdapat dua kesalahan:
pertama, penamaan Desa
Muntei yang menjadi Desa Wisata Muntei, atas dasar apa
perubahan nama itu? Kalau
ditulis Desa Muntei sebagai desa wisata, dapat dimengerti
karena tidak merubah nama desa
sebagaimana nama itu dibentuk dari mulanya. Kemudian nama
Kabupten Kepulauan
Mentawai ditulis Kabupaten Mentawai, tanpa kepulauan.
Kabupaten Kepulauan Mentawai
dibentuk dengan perjuangan dan perundang-undangan yang
jelas sehingga diberi nama
demikian, tetapi MURI menuliskan dalam Piagam Penghargaan
menjadi Kabupaten
Mentawai. Kalau benar kita harus menanggapi dokumen itu
secara serius, maka menurut
saya, dokumen itu haruslah menyesuaikan penamaan yang
resmi. Karena dibalik nama
resmi, ada aturan perundang-undangan yang mendukungnya.
Penerbitan piagam kepada Desa Muntei karena memiliki
tradisi rajah tertua, saya menilai
tidak tepat karena di Mentawai ada 42 desa yang lain. Dan
di desa-desa lain itu terdapat
orang-orang Mentawai yang juga entah mereka sekarang atau
leluhur mereka, memiliki
tradisi tato. Desa Muntei bukan satu-satunya yang
mempraktekkan tradisi tato. Muntei
bukan juga kampung tua di Mentawai. di Pulau Siberut,
masih ada Simatalu, Simalegi,
Sikabaluan, Saibi, Sirilogui, Taileleu, perkampungan di
daerah Rereiket, Sagulubbe sebagai
pemukiman tua. Kemudian kalau disebut sebagai daerah
destinasi wisata, daerah-daerah
seperti Rorogot, Rokdog, Madobag, Ugai, Buttui, Sakalio,
Attabai, Matotonan, Sakuddei dan
daerah pedalaman lainnya adalah lokasi-lokasi destinasi
wisata budaya yang sangat
populer sejak 1980-an hingga sekarang. Pada tahun 1980-an
Muntei baru dibangun sebagai
Kampung Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing. Bila
wisatawan asing datang ke
Siberut, mereka melewati Muntei, jarang yang tinggal di
desa tersebut, dan terus ke daerah
Rereiket. Muntei menjadi daerah kunjungan singkat bagi
wisatawan lokal yang tidak
berkesempatan ke pedalaman Siberut. Dengan minimnya
kajian dan hanya alasan
gampang dijangkau sehingga Desa Muntei menjadi desa
wisata yang memiliki tato tertua,
penerbitan piagam itu menurut pengetahuan akademis saya
dan juga sebagai orang
Mentawai melihatnya rancu.
Demikian tanggapan saya terhadap tulisan Yurnaldi,
Wartawan Senior dan Pimpinan
Redaksi dari AjarDetik.com