Ilustrasi foto: mahasiswa di kampus
PADANG, AjarDetik.com -- Gita (bukan nama sebenarnya) adalah mahasiswa semester delapan di suatu kampus swasta di Jawa Timur. Pada waktu luangnya, Gita bekerja sebagai seorang “joki” – sebutan bagi orang yang menawarkan jasa pembuatan tugas atau bantuan ujian bagi pelajar dengan biaya tertentu.
Dulu, Gita pertama mengenal jasa ini pada awal pandemi ketika menjadi pelanggan suatu lembaga joki berkedok “bimbingan belajar” di lingkungan kampusnya. Bersama sekitar 50 mahasiswa lain, ia membayar Rp110 ribu untuk dua sesi joki ujian, harga yang menurut Gita tinggi untuk jasa yang hanya memberinya nilai sekitar 70.
Ia kemudian punya ide: kenapa tidak membuka bisnis joki, dengan marjin keuntungan yang pastinya akan lebih besar pula jika menjalaninya seorang diri?
Gita kemudian mulai menawarkan beragam layanan perjokian via Twitter. Untuk pekerjaan rumah (PR) atau tugas kuliah, ia mematok harga Rp20-25 ribu per soal. Sementara untuk ujian, ia bisa mematok antara Rp30-50 ribu per soal tergantung panjang dan tingkat kesulitannya.
Karena memasuki semester penulisan skripsi, Gita kini tak terlalu aktif. Namun, dulu pendapatan bersih bulanannya tak pernah kurang dari Rp 1,5 juta. Ketika ramai, ia meraup hingga Rp 6 juta dalam satu bulan. Bandingkan ini dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk Jawa Timur yang sekitar Rp1,87-2,04 juta pada tahun 2021-2023.
Ketika ditanya apa motivasinya menjadi seorang joki tugas kuliah, Gita menyebutkan besarnya potensi cuan. Namun, menariknya, ia mengatakan bahwa prospek pasar ini cukup besar karena banyaknya mahasiswa yang kesulitan secara akademik.
Di Indonesia, belum ada riset tentang prevalensi penggunaan atau penyediaan jasa joki di lingkungan pendidikan. Namun, studi tahun 2018 dari Swansea University di Inggris menunjukkan sekitar 15% mahasiswa di seluruh dunia, termasuk negara-negara Asia, pernah menyewa jasa joki – atau disebut “contract cheating” di ranah global – untuk setidaknya satu tugas mereka.
Ayu Rachman, mahasiswa S3 bidang ekonomi politik pendidikan di Universitas Padjadjaran (Unpad) dan juga dosen Universitas Bina Mandiri (UBM) Gorontalo mengingatkan bahwa fenomena joki menunjukkan lemahnya dukungan akademik bagi mahasiswa yang kesulitan dalam mengerjakan tugas, sehingga mereka mencari jalan singkat.
Meredam perjokian akan sulit dilakukan tanpa mempertimbangkan masalah yang mengakar ini.
“Kalau penindakan seperti di [..] sektor lain, blacklist atau apa, kita tidak bisa lakukan. Kita hanya bisa [..] memberikan efek jera, kemudian memberi kesempatan supaya dia bisa memperbaiki kesalahannya,” kata Ayu.
“Bagaimanapun, mahasiswa itu adalah by-product (produk sampingan) dari [sistem institusi] kita.”
Langgengnya pasar joki: gejala hambatan akademik mahasiswa?
Gita mengatakan akibat permintaan yang tinggi dari mahasiswa, jasa perjokian kini menjamur di berbagai kanal media sosial.
“Sekarang joki tuh buset banyak banget. Kalau misalnya aku promosi cuma satu, udah kelelep sama ratusan joki lain per harinya,” katanya.
Ayu, yang juga tergabung dalam komisi etik di kampusnya selama periode 2019-2020, menemukan cerita dari para mahasiswa yang serupa dengan kasus-kasus yang dikisahkan Gita. Ia pernah meluncurkan investigasi secara incognito – seolah-olah sebagai calon pengguna – untuk mengetahui lanskap perjokian di dunia pendidkan tinggi.
Tak hanya menyasar mahasiswa sarjana, Ayu mengatakan timnya menemukan layanan perjokian yang juga menarget mahasiswa S2. Ada beragam joki, misalnya, yang menawarkan jasa penyusunan tesis master dengan banderol harga Rp 5-10 juta.
Bahkan, dalam investigasinya, ia menemukan bahwa dosen juga bisa menjadi pelaku.
“Artinya membantu proses pembuatan karya ilmiah secara internal, sementara dia bukan ditunjuk sebagai pembimbing, misalnya [..] Biasanya mereka dapat insentif Rp 2-5 juta per naskah – tergantung kesepakatan dan kesanggupan mahasiswa.”
Untuk dosen yang ketahuan berbisnis joki, lembaga Ayu akan langsung menerapkan sanksi tegas, yakni pemecatan. Dosen yang menawarkan jasa ini dianggap melakukan pelanggaran etika yang sangat serius.
Namun, untuk mahasiswa, Ayu mengatakan tidak ada sanksi yang benar-benar mencoba menutup masa depan mahasiswa. Sanksinya cenderung lebih ringan – termasuk membatalkan nilai ujiannya hingga menunda wisuda – tergantung tingkat pelanggaran dan niatannya.
“Kita selalu percaya bahwa, secara sistemik pasti bisa kita perbaiki untuk si mahasiswa ini,” ungkapnya.
“Kenapa kok yang bersangkutan kesulitan? Bisa jadi karena memang malas. Tapi, yang kedua bisa jadi karena peran pembimbing yang kurang, atau mungkin dukungan penulisan akademik dalam kampusnya sendiri yang kurang [..] Kesulitan-kesulitan ini yang membuat mereka mencari alternatif lain.”
Sulitnya menindak dan mendeteksi joki
Dalam tulisan yang terbit di The Conversation Indonesia pada Februari lalu, Haekal Al Asyari dan Felicity Salina, dosen Fakultas Hukum di Universitas Gadjah Mada (FH-UGM) menjelaskan di Indonesia, belum ada regulasi yang spesifik dalam menindak praktik perjokian di lingkup pendidikan.
Hingga saat ini, salah satu konsep yang dipakai untuk menindak perjokian – misalnya sebagaimana tertuang dalam beberapa peraturan, termasuk plagiarisme.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan (Permendikbudristek) Nomor 39 Tahun 2021, ada juga konsep “kepengarangan yang tidak sah” ketika penulis tidak memberikan kontribusi kepada pengarang lainnya.
Tapi, menurut Haekal, perjokian punya sifat berbeda, yang belum cukup diatur dengan kerangka dua aturan di atas.
“Menyuruh orang lain tanpa memberikan kontribusi itu multiinterpretatif. Kontribusi apa? Apakah termasuk moneter? Kalau iya, berarti perjokian bukan pelanggaran kepengarangan.” katanya.
Jika ditindak dengan kerangka plagiarisme pun juga sulit karena jual-belinya bersifat konsensual.
Tak hanya itu, penyedia jasa joki kini bahkan menawarkan jaminan lolos instrumen deteksi plagiasi seperti Turnitin.
“Kalau misalnya paper sehalaman, aku [patok harga] 30 ribu, itu udah plagiarismenya di bawah 15%,” kata Gita yang menawarkan karya pesanan yang bebas dari indikasi jiplakan.
Isu perjokian sebenarnya sudah jadi perhatian nasional. Pada bulan Februari, misalnya, Harian Kompas menerbitkan rangkaian investigasi terkait praktik joki di kalangan mahasiswa maupun dosen, yang juga sempat viral di media sosial. Sayangnya, belum ada lagi regulasi atau kebijakan tambahan dari pemerintah yang lebih spesifik dan tegas untuk menangkal praktik ini di perguruan tinggi agar semua institusi satu visi.
Jangan lupakan dukungan akademik untuk mahasiswa
Pelanggaran integritas akademik yang ditangani oleh Haekal dan rekan-rekannya di FH-UGM selama ini biasanya berupa kasus plagiasi. Untuk kasus-kasus kecurangan khusus, para dosen dapat membentuk tim ad hoc untuk menanganinya. Namun, ini belum pernah terjadi untuk insiden perjokian.
Kasus joki terbilang rumit untuk diinvestigasi karena melibatkan banyak pihak dan dengan transaksi yang bersifat anonim.
Di sini, meski regulasi yang lebih spesifik berperan penting sebagai langkah awal mendorong kesepakatan, budaya, dan kepedulian terhadap integritas akademik yang lebih kuat di kampus, mengandalkan itu saja pun tidak cukup dan perlu strategi alternatif.
Nantinya, selain membuat dan mempromosikan kanal laporan pelanggaran (whistleblowing system) untuk melacak dugaan kecurangan, misalnya, Ayu beranggapan institusi juga harus lebih mendukung mahasiswa agar mereka bisa mengasah dan mengatasi hambatan akademik, ketimbang mengandalkan bantuan pihak luar seperti Gita.
Pada tahun 2021, misalnya, Komisi Etik UBM Gorontalo turun tangan ketika seorang mahasiswa tidak bisa menjelaskan beberapa data dalam skripsinya, maupun proses pengolahannya secara kuantitatif.
Ketika ditanya, karena merasakan kesulitan akademik dan tekanan besar di penghujung masa kuliahnya, sang mahasiswa mengaku “meminta bantuan teman” – kata-kata yang tak asing bagi komisi etik sebagai penggunaan jasa joki.
Sejak itu, UBM Gorontalo menambah fungsi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) miliknya. Selain pengelolaan hibah riset dan proyek sosial, LPPM kampus tersebut kini juga memberikan pelatihan penulisan akademik dan pembuatan karya ilmiah hingga melayani konsultasi personal dari mahasiswa.
“Tapi belum semua kampus mewajibkan atau memiliki fasilitas itu,” kata Ayu.
“Sementara, di luar negeri itu sudah jadi hal yang lumrah. Dalam kelembagaannya mereka punya divisi atau departmen yang mengurusi soal dukungan akademik – mulai dari pelatihan, kemudian pembimbingan, pendampingan, dan sebagainya.”
University College London (UCL) di Inggris – universitas Ayu ketika menjalani studi master – memiliki pusat bernama Academic Communication Centre (ACC) untuk mendukung kemampuan menulis dan berbicara mahasiswa sesuai disiplin ilmunya. Pusat ini punya program seperti Writing Lab hingga dukungan penulisan tesis dan disertasi.
“Mahasiswa merasa mendapat dukungan di dalam kampus, sehingga mereka tidak perlu untuk keluar kampus untuk mencari sumber-sumber itu.” (Luthfi T. Dzulfikar /theconversation.com)