Ilustrasi foto: Kampus Universitas Negeri Padang (UNP) Air Tawar, Kota Padang, Sumatera Barat.
PADANG, AjarDetik.com -- Media kerap memotret profesi dosen sebagai pekerjaan yang menjanjikan secara finansial. Namun hal ini ini sangat bertentangan dengan apa yang disuarakan oleh para dosen.
Di tengah tuntutan yang semakin meningkat seiring keharusan universitas mengikuti logika pasar, menumpuknya beban administrasi, serta syarat kualifikasi yang semakin tinggi bagi akademisi, tingkat kesejahteraan dosen di Indonesia adalah isu yang masih belum benar-benar dituntaskan.
Di Indonesia, ada sekitar 300 ribu dosen yang tersebar di sekitar 4.600 perguruan tinggi dengan bermacam-macam status kepegawaian dan ikatan kerja. Keberagaman ini kerap menyebabkan ketidakjelasan mengenai standar pengupahan mereka.
Tanpa rujukan yang jelas, dosen berada dalam posisi rawan untuk digaji di bawah standar upah minimum masing-masing daerah.
Sayangnya, hingga kini, kita masih kesulitan membaca fenomena ini karena belum ada data tentang penghasilan dosen di Indonesia yang bisa menjadi rujukan awal untuk membedah persoalan.
Oleh karena itu, kami melakukan studi untuk mencoba mengisi kesenjangan tersebut. Tim kami – yang terdiri dari akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Mataram (Unram) – berupaya memetakan kondisi kesejahteraan dosen melalui sebuah survei nasional yang kami luncurkan secara daring pada April 2023.
Survei kami diikuti hampir 1.200 partisipan dosen aktif, yakni tidak sedang melaksanakan tugas atau izin belajar lanjut.
Secara gender, mereka berimbang antara perempuan dan laki-laki, dengan mayoritas berada di rentang usia 26-40 tahun (80,6%). Sebagian besar berpendidikan terakhir S2 (82,2%) dan telah bekerja selama 0-10 tahun (79,8%).
Berikut merupakan temuan-temuan utama dalam survei
Upah dosen masih jauh dari layak
Secara umum, dosen menerima pendapatan yang relatif tetap dari institusinya. Ini bisa terdiri dari gaji pokok, tunjangan fungsional, tunjangan profesi, dan beragam jenis honor (seperti honor mengajar, membimbing, praktikum dan sebagainya). Dosen yang memiliki jabatan di universitas, juga mendapatkan tambahan dari tunjangan jabatan struktural.
Sebanyak 42,9% dosen menerima pendapatan tetap di bawah Rp3 juta per bulan.
Di luar itu, sebagian dosen menerima pendapatan variabel (tidak tentu) seperti honor narasumber, insentif publikasi, dan honor insidental lainnya. Bagi lebih dari setengah partisipan (53,6%), jumlah pendapatan tidak tentu ini masih di bawah Rp 1 juta per bulan.
Sebagai catatan, rata-rata upah minimum provinsi (UMP) di Indonesia berkisar pada angka Rp 2.910.632 pada 2023.
Banyak orang mengira bahwa semua dosen menerima tunjangan profesi – yang dikenal dengan sebutan sertifikasi dosen (serdos) – dengan nominal yang besar. Padahal, kenyataannya tidak semua dosen menerima komponen ini.
Jika pun mereka menerimanya, besarannya hanya sebesar satu kali gaji pokok sesuai golongannya, biasanya baru bisa diurus setelah bekerja minimal sekitar 4 tahun, dan sering kali tak sepadan dengan kualifikasi mereka.
Bahkan, untuk dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan kualifikasi sekaliber S3 dengan jabatan fungsional Lektor (Assistant Professor), tunjangan serdos mereka dipatok pada angka Rp 2.802.300. Angka ini jauh tertinggal, misalnya, jika dibandingkan tunjangan kinerja di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk lulusan S1 yang sebesar Rp 3.980.000.
Apakah pemasukan para dosen ini terbilang layak?
Menurut Organisasi Perburuhan Dunia (ILO), pendapatan yang “layak” memenuhi tak hanya upah minimum, tapi juga keamanan sosial. Selain biaya kebutuhan dasar seperti pangan dan hunian, ini juga berarti menghitung pengeluaran penting lain seperti kesehatan, pendidikan anak, dan ongkos partisipasi kehidupan sosial masyarakat. Keamanan sosial juga harus mempertimbangkan dana darurat ketika menghadapi potensi kehilangan pekerjaan dan risiko kecelakaan.
Perlu menjadi catatan bahwa 73,7% partisipan riset kami mengaku harus menanggung biaya hidup keluarganya.
Di antara mereka, sebagian besar (55,4%) menyatakan harus mengeluarkan biaya hidup per bulan sebesar Rp 3-10 juta. Bahkan, ada (12,2%) yang kebutuhan bulanannya lebih dari Rp 10 juta.
Periode awal karier dosen adalah masa-masa kritis
Senada dengan narasi yang banyak muncul di media sosial, kami menemukan bahwa dosen yang berpenghasilan di bawah Rp 3 juta rupiah per bulan biasanya masih pada tahap awal karier mereka.
Banyak di antara partisipan kami berusia 26-35 tahun (63,5%), bergelar S2 (82,2%), dan bekerja selama kurang dari 3 tahun (39,4%).
Karena belum lama bekerja, selain belum mendapat tunjangan serdos, banyak di antaranya pun belum bisa mendapat tunjangan tambahan berkaitan dengan jabatan fungsional mereka. Biasanya, dosen baru mulai mendapat tunjangan pertama ini (sekitar Rp 375.000) ketika naik jadi Asisten Ahli (AA) setelah 2-3 tahun.
Tak ayal, sebagian besar (71,6%) partisipan pun harus mengejar pemasukan tak rutin dari berbagai aktivitas kepanitiaan, dana hibah penelitian, atau dengan mengampu jabatan struktural di universitas mereka. Jumlahnya? Lebih dari setengah mengatakan tak lebih dari Rp 1 juta per bulan.
Dari 583 partisipan yang memberikan respons terhadap pertanyaan apakah mereka memiliki pekerjaan tambahan, sebanyak 45,8% mengakui bahwa mereka memperoleh pemasukan selain dari profesi dosen di institusi tempat mereka bekerja.
Ini termasuk menjadi konsultan, tenaga ahli, guru bimbingan belajar, dan bahasa asing, hingga membuka usaha sendiri dan berdagang. Namun pemasukan yang mereka dapatkan dari sumber tersebut masih di bawah Rp 3 juta tiap bulannya – hanya 3% dari partisipan mengaku mendapat pemasukan hingga Rp 6-10 juta per bulan dari luar institusi mereka.
Dosen-dosen muda dalam rentang usia 26-35 tahun pun berada dalam masa-masa membangun rumah tangga, membayar cicilan hunian, atau membiayai sekolah anaknya yang tentunya membutuhkan ongkos yang tak sedikit.
Para dosen muda yang baru menyelesaikan studi lanjut seharusnya berada dalam masa emas produktivitas riset. Namun, kenyataannya justru mereka – khususnya dosen junior – kerap dibebankan dengan tugas administratif yang tinggi yang mematikan gairah penelitian.
Kinerja terhambat gaji
Pada akhir survei, kami menanyakan persepsi dosen tentang penghasilan mereka.
Hasilnya cukup sesuai dugaan: mayoritas dosen (80%) merasa pendapatannya tidak sesuai dengan beban pekerjaan yang diberikan.
Dosen, misalnya, harus mengemban beban SKS mengajar yang banyak. Upaya efisiensi dan penghematan biaya operasional kerap membuat perguruan tinggi mempekerjakan sesedikit mungkin dosen untuk mengampu banyak kelas.
Selain itu, dosen juga dituntut membimbing mahasiswa, meneliti, menulis publikasi ilmiah, dan melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat. Tugas administratif dosen juga bertambah dengan adanya pemantauan kinerja lewat aplikasi-aplikasi yang sangat menguras tenaga dan waktu. Tak sedikit dosen menerima limpahan pekerjaan administratif dari atasan atau senior karena kurangnya sumber daya manusia (SDM) di kampus.
Pada akhirnya, ini semua mempengaruhi tingkat kepuasan dosen terhadap profesinya dan bagaimana ia mengalokasikan waktunya untuk menekuni profesi dosen dibandingkan pekerjaan lain yang lebih menghasilkan secara ekonomi.
Tidak heran bila kita sering menemukan keluh kesah dosen maupun mahasiswa tentang kualitas pengajaran yang tidak optimal – misalnya kelas-kelas perkuliahan yang dibatalkan karena dosen harus membagi waktunya dengan pekerjaan sampingan mereka.
Selain itu, tekanan pekerjaan dan ekonomi yang dialami dosen sangat mungkin menjadi faktor penjelas mengapa mereka bisa menjadi sosok yang temperamental dan kurang empati, salah satu gejala dalam krisis kontemporer universitas.
Dalam studi lintas negara dan disiplin di 11 negara Eropa, terdapat juga korelasi yang jelas antara tingkat penghasilan akademik yang tinggi dengan performa riset yang tinggi pula. Tentu, ini bisa berdampak pada proses produksi pengetahuan yang kemudian cenderung homogen karena hanya segelintir akademisi elit saja yang menghasilkan riset berkualitas.
Beberapa akademisi mengungkap bahwa satu penyebab beban dan ketimpangan dosen di atas yang terus dilanggengkan, adalah neoliberalisasi pendidikan tinggi yang terjadi di berbagai belahan dunia. Institusi pendidikan tinggi terus bergerak mengikuti logika pasar bebas dan kompetisi, sehingga para dosen pun dituntut untuk menghasilkan riset di jurnal bereputasi internasional demi menggenjot peringkat kampus – kadang hingga melakukan kecurangan atau mencari jalan pintas.
Sebagai upaya menghadapi berbagai situasi ini, dosen di banyak negara – khususnya di Inggris, Australia, dan Amerika Serikat (AS) – kini bergerak lewat wadah serikat pekerja untuk memperjuangkan hak-hak akademisi bersama elemen kampus lainnya.
Para akademisi Indonesia dapat mempertimbangkan untuk membentuk wadah serupa demi mengadvokasi sejumlah isu kesejahteraan yang mereka hadapi, termasuk mengkalkulasi upah layak yang sepatutnya mereka terima sesuai beban kerja dan kebutuhan hidupnya.
Apalagi, 87,5% partisipan survei kami menyatakan siap bergabung jika serikat dosen terbentuk – yang hingga kini masih absen di Indonesia.
Riset ini semestinya tak hanya sekadar mengisi kekosongan data dan meluruskan persepsi tentang dosen yang kerap dianggap makmur. Namun, temuan ini sepatutnya juga menjadi momentum untuk perbaikan kesejahteraan pengajar di perguruan tinggi – profesi yang sangat menentukan kualitas pendidikan dan riset Indonesia, sekaligus kelompok buruh yang rentan dan memerlukan perlindungan.
(
Penulis: Assistant Professor in Organisation Studies, Universitas Indonesia/
Assistant Professor at the Faculty of Medicine, Universitas Mataram/
Associate professor, Universitas Indonesia/theconversation.com)