Beberapa buku serial jurnalistik karya Yurnaldi
Oleh YURNALDI
Di sela-sela pertemuan kami –pengurus Perkumpulan Penulis Indonesia Sematera Barat (DPD Satu Pena Sumatera Barat) dengan Wakil Gubernur Sumatera Barat, Audy Joinaldy, di kediamannya Jalan A Yani, Padang, pembicaraan melaporkan kegiatan Internastional Minangkabau Literacy Fertival (IMLF) terhenti sejenak. Audy membaca pesan penting di telepon selulernya.
“Buka puasa bersama dilarang,” serunya. “Saya setuju!”
Wagub yang sekampung dengan saya itu tak memberikan penjelasan tambahan. Kecuali menjelaskan, bahwa di hari libur pun dia tak menikmati puasa pertama bersama keluarga besar. Bahkan, kami pun diterima saat hari libur nasional. Audy menjelaskan, bahwa menjelang Idul Fitri nanti baru disediakan waktu kumpul keluarga. Bahkan, seusai menerima pengurus DPD Satu Pena Sumatera Barat, Wagub Audy sudah ditunggu rombongan dan langsung menuju Pasaman Barat.
Yang terpikir oleh saya kemudian, kenapa Audy langsung setuju dengan larangan itu, mungkin kebiasaan selama ini, tahun-tahun sebelumnya, kegiatan buka puasa bersama para pejabat di tingkat provinsi/kabupaten/kota dinilai habiskan banyak uang negara. Buka puasa di kalangan pejabat, kita tahu sama tahu, tak cukup sekali, tapi berkali-kali. Misalnya, buka puasa khusus dengan tim sukses, lalu dengan kepala OPD, dan hari-hari jelang Ramadan berakhir biasanya buka puasa bersama dengan kalangan seniman, budayawan, dan wartawan.
Sejak kejadian “mempermalukan” wartawan/seniman/budayawan seusai buka puasa bersama, beberapa tahun lalu di Gubernuran (kini era Mahyeldi dilabeli Istana Gubernur), di mana terjadi keributan karena kurangnya kain sarung, saya tak mau lagi hadiri buka puasa bersama. Saya datang tentu bukan untuk mendapatkan kain sarung, tetapi setidaknya bisa konfirmasi berita terkini kala itu. Merasa harga diri wartawan hanya senilai kain sarung, mana mau.
Bayangkan kalau selama sepekan buka bersama seorang pejabat, undangan selalu dipadati banyak orang dan setiap pulang selalu “dibekali sesuatu” yang dibeli dari APBD atau sumber-sumber lain, yang mungkin saja kategori grativikasi, yang era dulu belum dilarang benar.
Atau adakah buka bersama seorang pejabat, yang sumbernya dari gajinya? Kita tahu sama tahu berapa gaji seorang pejabat. Apalagi di era keterbukaan informasi publik sekarang ini. Gaji dan harta kekayaan pejabat bisa diketahui publik. Sekira mencurigakan, ada lembaga khusus yang diam-diam melakukan pemeriksaan.
Nah, terkait keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, di mana bidang garapan saya saat jadi komisioner yang membidangi advokasi, sosialisasi dan edukasi (ASE), tahun 2014-2018. Yang menarik kita pertanyakan adalah, kenapa surat Sekretaris Kabinet Republik Indonesia yang ditandatangani Pramono Anung, kategori rahasia, bisa bocor ke publik?
Surat bertanggal 21 Maret 2023 itu sampai sekarang ramai dikomentari di media sosial oleh berbagai kalangan.
Ingat, yang saya pertanyakan, kenapa surat yang sifatnya rahasia itu bisa tersebar luas? Dugaan pertama tentu, ada orang dalam di sekretariat kabiner yang membocorkannya. Dan yang membocorkan bisa dipastikan tidak memahami UU KIP Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) itu.
Sebab, UU KIP menegaskan, sesuatu yang bersifat rahasia (bahasa UU dikecualikan), jika disebarluaskan ada sanksi pidana. Pasal 54 berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap Orang yang dengan
sengaja dan tanpa hak mengakses dan/ atau memperoleh dan/atau memberikan
informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a, huruf b,
huruf d, huruf , huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf c dan huruf e, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Saya tidak tahu, apakah Sekretaris Kabinet Pramono Anung akan mencari stafnya yang bertanggung jawab dengan surat tersebut, atau membiarkannya mengelinding menjadi bola salju.
Dan jika dikaitkan dengan tahun-tahun politik yang sudah dekat, larangan buka puasa bersama, bisa jadi bermuatan politis. Kegiatan bu puasa bersama bukan mustahil pula akan menjadi medium untuk pendekatan kepada konstituen. Apalagi banyak di kalangan pejabat tak puas-puasnya duduk di kursi empuk kekuasaan. Habis satu periode mau dua periode. Kalau ada UU yang membolehkan tiga periode, pasti pejabat itu sangat ambisius bisa terpilih untuk periode ketiga, misalnya. Sebagaimana belakangan pernah ribut soal jabatan presiden bisa tiga periode.
Jika Pramono Anung membiarkan “heboh” larangan buka puasa bersama ini tanpa mengusut orang yang menyebarluaskan surat yang bersifat rahasia tersebut, itu suatu pertanda UU KIP belum dipahami benar. UU KIP tidak diimplementasikan.
Atau “heboh” larangan buka puasa bersama ini diyakini banyak orang sebagai pengalihan isu pejabat yang punya harta melimphan, yang dibaratnya tak bakalan habis selama tujuh keturunan. Atau biar korupsi tetap jalan, karena sudah menjadi budaya. Kalau ada yang tertangkap basah, itu dinilai faktor kesialan. Kalau pun dihukum penjara, ada tiap tahun dapat pengurangan hukuman (remisi).
Selagi koruptor dihukum ringan, tidak berani memberikan vonis hukuman mati, tidak berani melakukan pengujian terbalik, maka korupsi akan tetap merajalela. Toh selama di penjara, mereka masih bisa menikmati berbagai fasilitas, yang padahal sangat dilarang. Akan tetapi, itulah fakta di negeri kita.
Di sisi lain, sebagaimana diungkapkan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah M Din Syamsuddin, larangan buka puasa bersama dinilai tidak arif dan tidak adil alias zalim. Tidak arif karena terkesan tidak memahami makna dan hikmah buka puasa bersama, antara lain untuk meningkatkan silaturrahim yang justru positif bagi peningkatan kinerja aparatur sipil negara.
Tidak adil karena nyata alasannya mengada-ada, yaitu masih adanya bahaya Covid-19. Bukankah presiden melanggar ucapannya sendiri dengan mengadakan acara pernikahan putranya yang mewah dan mengundang kerumunan banyak orang? Begitu juga bukankah presiden terakhir ini sering berada di tengah kerumunan?
Kalau direntang, bisa panjang. Selamat berbuka puasa bersama keluarga.