Oleh Aura Nabila Yuranda
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Unand, sedang Menyusun Skripsi tentang Keterbukaan Informasi Publik
Setelah 12 tahun Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dibelakukan, seperti apa implementasinya pada badan publik di Sumatera Barat? Gampang saja membuktikannya, mintalah informasi ke Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat dan/atau sekolah-sekolah di Kota Padang, pasti mendapatkan kekecewaan.
Kalau ingin menyenketakan ke Komisi Informasi pasti bisa, tapi prosesnya butuh waktu yang panjang dan mungkin juga melelahkan pemohon informasi. Dari pemberitaan di media tahun 2014-2018, betapa banyak sengketa informasi tentang dana BOS yang ditanggani Komisi Informasi Provinsi Sumbar. Di provinsi lain, sengketa dana BOS ini ada yang berakhir dengan dipenjarakannya kepala sekolah.
Kemudian sebagaimana diekspos mediacetak sejak beberapa bulan belakangan, sengketa informasi antara pemohon Leon Agusta Indonesia (LAI) dengan termohon sejumlah BUMN yang ada perwakilannya di Sumatera Barat, juga suatu bukti keterbukaan informasi jauh panggang dari api. Sudah diputuskan Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat harus memberikan informasi terkait dana Corporate Social Responsibility (CSR), tetap informasi yang diminta LAI tak diberikan. Sampai pada waktunya LAI kemudian melalukan somasi, baru direspon badan publik BUMN.
Terkait keterbukaan di BUMN, dari laporan Komisi Informasi Pusat tahun 2018 pada acara Anugerah Keterbukaan Informasi 2018 di Istana Wakil Presiden di Jakarta, terungkap data bahwa hanya 2 BUMN yang informatif, 2 BUMN menuju informatif, 3 BUMN cukup informatif, 9 BUMN kurang informatif dan yang mengejutkan, sebanyak 98 badan publik BUMN tidak informatif. Tidak informatif dalam bahasa sederhana adalah tidak terbuka atau badan publik yang tertutup.
Jadi, sengketa LAI dengan badan publik BUMN tahun 2022, empat tahun setelah 2018, keterbukaan informasi publik di badan publik masih setengah hati, jauh panggang dari api.
Bahkan, publik (mahasiswa) yang seharusnya paham dengan keterbukaan informasi, sehingga bisa menggunakan haknya untuk tahu informasi publik, mempertanyakan buat apa keterbukaan informasi publik tersebut, saat Diskusi Keterbukaan Informasi Publik di Universitas Bung Hatta, yang menghadirkan Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat, Arya Sandhiyuda, 30 September 2022 (baca tribunsumbar .com, 30/09/2022).
Apakah karena gambaran seperti yang dipaparkan di atas, menyebabkan Indeks Keterbukaan Informasi Publik Provinsi Sumatera Barat tahun 2022 hanya berada di peringkat 15 dengan indeks 75,43, sebagaimana dirilis Komisi Informasi Pusat ?((komisiinformasi.gp.id).
Kalau dibandingkan laporan Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat seperti pernah diekspos tahun-tahun sebelumnya, bahwa tahun 2016 dan 2017 Sumatera Barat berada di peringkat ke-10 keterbukaan informasinya dan tahun 2018 dengan kualifikasi menuju informatif (nilai indeks 80-96).
Membandingkan Indeks Keterbukaan Informasi Publik tahun 2022 yang peringkat ke-15 dengan peringkat ke-10 tahun 2016 dan 2017, dan menuju informatif tahun 2018, artinya keterbukaan informasi publik di Sumatera Barat terjadi penurunan.
Apakah penurunan peringkat keterbukaan informasi publik ini karena badan publik tidak serius untuk berupaya lebih baik dari tahun ke tahun, atauadvokasi, sosialisasi, dan edukasi yang dilakukan Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat dan Dinas Diskominfotik Provinsi Sumatera Barat menurun karena anggaran yang terbatas akibat dua tahun dilanda pandemi Covid-19? Atau faktor lain, seperti Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) badan publik yang tidak serius dengan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik?
Kemungkinan bisa jadi disebabkan salah satu atau salah dua, atau ketiga faktor yang saya pertanyakan di atas.
Mencermati fakta di atas, bahwa keterbukaan informasi publik di Sumatera Barat baru pada kualifikasi cukup informatif (dengan nilai indeks 60-79), menjadi tugas berat komisioner komisi informasi masa jabatan 20023-2027, sebab masa jabatan komisioner yang ada sekarang akan berakhir.
Apa solusi yang bisa dilakukan untuk membuat Indeks Keterbukaan Informasi Publik menjadi lebih baik, misalnya mencapai peringat pertama, kualifikasi informatif dengan nilai 97-100?(Perki Nomor 5 Tahun 2016).
Menurut hemat saya, sosialisasi, edukasi, dan advokasi terhadap badan publih harus gencar dilakukan. Bimbingan teknis kepada kelembagaan PPID di badan publik harus dilakukan secara berkesinambungan. Tak cukup sekali, tetapi dua kali, tiga kali, bahkan berkali-kali, sampai masing-masing elemen di PPID paham apa yang harus dilakukan. Terkadang, mebuat daftar informasi publik saja masih tak tuntas-tuntas. Belum lagi mengklasifikasikan informasi. Lalu, informasi yang dikecualikan apa pernah dilakukan uji konsekuensi?
Ketersediaan informasi publik di badan publik tergantung kinerja PPID. Jika kerja PPID baik dan sudah siap dengan daftar informasi publik, maka pelayanan informasi akan baik dan akan terhindar dari sengketa informasi publik.
Cuma masalahnya, apakah tenaga yang ditempatkan di PPID seperti tenaga ahli teknologi informasi, tenaha ahli bidang kehumasan, tenaga ahli bidang kearsipan dan tenaga ahli bidang kepustakaan, sudah sesuai dengan harapan? Jika perlu mereka itu harus punya sertifikasi keahlian di bidang PPID.
Kasus ketertutpan badan publik di Sumatera Barat, misalnya, bisa jadi disebabkan tenaga fungsional yang ditempatkan di PPID bukanlah tenaga yang benar-benar ahli, sehingga harus disertifikasi. Atau mungkin pada mulanya tenaga ahli, tapi kemudian penggantinya tenaga yang belum disertifikasi, sehingga terjadilah penurunan indeks keterbukaan informasi publik Sumatera Barat.
Kemudian, karena tugas di bagian PPID badan publik dianggap tugas berat, namun yang ditempatkan
juga mempunyai tupoksi di bidang kerja lain, maka tugas sebagai PPID dianggap sebagai tugas tambahan, bukan kerja prioritas. Untuk itu, tentu saja tugas Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat untuk menyampaikan ke Gubernur, bahwa staf yang ditempatkan di PPID jangan lagimerangkap, tetapi serius menangani PPID, sehingga kinerjanya dari tahun ke tahun bisa terukur dan terjadi peningkatan.
Kalaupun karena alasan sumber daya manusia (SDM) yang terbatas, mau tak mau yang bekerja di bagian PPID merangkap, setidaknya ada tambahan uang insentif. Jika tak ada uang insentif, maka mereka bekerja tetap setengah hati, kurang serius. Resikonya, seperti yang dialami Sumatera Barat, peringkat melorot dari peringkat ke-10 menjadi peringkat ke-15. Dari kualifikasi menuju informatif (nilai indek 80-86) menjadi cukup informatif (nilai 60-79).
Sekiranya anggaran Komisi Informasi Provinsi Sumbar untuk seminar dan bimtek badan publik terbatas, mungkin ketua Komisi Informasi Provinsi Sumbar bisa melobi pimpinan badan publik untuk bekerjasama, di mana anggaran untuk seminar dan bimtek dibebankan ke badan publik.
Jika tak ada terobosan dan kerjasama yang demikian, maka bisa dipastikan ke depan sengketa informasi di Sumatera Barat akan terus meningkat. Peringkat indeks keterbukaan informasi publik akan terus melorot. Lain halnya kalau Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat ada target, misalnya berada di peringkat lima besar sebagai provinsi yang informatif di Indonesia, maka ini sebuah kemajuan yang sangat berarti dan harus diapresiasi.
Begitu juga monitoring dan evaluasi yang dilakukan Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat setiap tahun, hasilnya harus diapresiasi DPRD Provinsi Sumatera Barat. Badan publik yang tidak menunjukkan peningkatan kualifikasi keterbukaan informasi publik, anggaran badan publiknya dikurangi. Sebaliknya, yang keterbukaan informasinya bagus dan meningkat, anggaran badan publiknya ditambah, dinaikkan dari anggaran tahun sebelumnya.
Mungkin karena tak ada apresiasi, makanya bekerja serius untuk mengimplementasikan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ini tak kelihatan hasilnya. Sebab bekerja baik dan dan tak baik, insentif tak ada. Resiko pengurangan anggaran juga tak ada bagi yang keterbukaan informasinya kurang informatif dan/atau tidak informatif.
Jika diperlukan, kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) atau badan publik harus bikin komitmen dengan gubernur. Jika keterbukaan informasi di OPD tidak mecapai target, lebih baik dari tahun sebelumnya, maka dia harus siap dicopot. Dulu pernah viral di media massa, agar gubernur Sumatera Barat mencopot kepada dinas yang abai dengan keterbukaan informasi publik (Haluan, 5 September 2016) .