Anak muda Mentawai, di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumbar, tetap melestarikan bahasa Mentawai. (Foto Yurnaldi/AjarDetik.com)
Bahasa ibu, atau bahasa daerah, adalah bagian dari khazanah bahasa dunia. Secara internasional, PBB telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu se-Dunia. Memperingati Hari Bahasa Ibu se-Dunia, ketika Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat mengundang Pemred AjarDetik.com Yurnaldi jadi narasumber talkshow di Radio Arbes FM 101. Dia merefleksikan bahasa ibu di Sumatera Barat, seperti apa keberadaannya kini?
Bahasa ibu menurut menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi III, merupakan bahasa pertama yang dikuasai manusia
sejak lahir, melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya,
seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya.
Artinya, bahasa ibu adalah bahasa yang pertama kali diajarkan ibu di dalam
rumah. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang digunakan ibu untuk memapah
anaknya berbicara. Bahasa ibu itu bahasa daerah, bukan bahasa Indonesia seperti
kebanyakan orang sangka. Kecuali seorang anak yang ibu bapaknya terlahir di
Kota Jakarta, lalu dia berbahasa Indonesia, maka bahasa Indonesia adalah bahasa
ibu baginya.
Perlu diingat kembali, jauh sebelum bahasa Indonesia dideklarasikan sebagai
bahasa nasional, bahasa daerah sudah eksis dan lestari di Nusantara. Apalagi
mengingat fungsi bahasa daerah sebagai pelengkap bahasa nasional.
Salah satu keputusan bersifat politis yang dihasilkan Seminar Politik Bahasa
tahun 2000 adalah ditentukannya fungsi bahasa daerah sebagai: (a) lambang
kebanggaan daerah, (b) lambang identitas daerah, (c) alat perhubungan di dalam
keluarga dan masyarakat daerah, (d) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa
Indonesia, (e) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia.
Selain itu, dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi
sebagai: (a) pendukung bahasa nasional, (b) bahasa pengantar di sekolah dasar di
daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa
Indonesia dan mata pelajaran lain, dan. (c) sumber kebahasaan untuk memperkaya
bahasa Indonesia, serta (d) dalam keadaan tertentu dapat berfungsi sebagai
pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat
daerah (Alwi dan Dendy Soegono, 2000).
Berdasarkan informasi yang dilansir dari Badan Bahasa Kemendikbud, terdapat tiga fungsi bahasa daerah bagi bahasa Indonesia, antara lain: pertama, pendukung bahasa Indonesia. Kedua, bahasa pengantar untuk permulaan. Bahasa daerah bisa menjadi mata pelajaran sekolah dasar di daerah tertentu. Bahasa pengantar ini bisa memperlancar pengajaran bahasa Indonesia atau pelajaran lain. Ketiga, sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia. Bahasa daerah bisa menjadi pelengkap untuk bahasa Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintah di tingkat daerah.
Pelestarian bahasa daerah telah jadi isu global, termasuk di Indonesia, dan sudah seharusnya "tongkat estafet" perlindungannya secara aktif diambil banyak pihak. Dalam lingkup paling dekat, pendidikan bahasa daerah, sebaiknya dimulai dari rumah.
Masalah dan Tantangan
Di Sumatera Barat ada dua bahasa ibu, yakni bahasa Minangkabau dan bahasa Mentawai. Jika bahasa Ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai sejak lahir, maka pertanyaannya adalah: berapa banyak keluarga Minang yang berbahasa Minang dengan anaknya? Berapa banyak keluarga Mentawai yang berbahasa Mentawai dengan anaknya?
Jumlah penduduk Sumatera Barat menurut data BPS (2021) adalah sebanyak 5.580.232 jiwa, dengan rincian 2.810.407 laki-laki dan 2.769.825 perempuan. Dari jumlah itu, terdapat penduduk Kabupaten Kepulauan Mentawai sebanyak 88.389 jiwa (dengan rincian 45.891 lakilaki dan 42.498 jiwa perempuan).
Sementara Penutur Bahasa Minangkabau menurut data adalah terbanyak ke enam di Indonesia, yakni 4,2 juta (setelah jawa 60-84 juta, Sunda 32,4 juta, Madura 7,7 juta, Betawi 5 juta, Bugis 4,3 juta, dan Banjar 3,6 juta penutur).
Dari 4,2 juta jiwa itu, belum termasuk penutur bahasa Minangkabau di Barat Riau (Kabupaten Kampar), Negeri Sembilan Malaysia, Aceh Barat (suku Anak Jamee), dan perbatasam Jambi (Kabupaten Muaro Bungo, Aliran Batanghari, juga Kabupaten Kerinci dan Kota Kerinci).
Juga belum termasuk para perantau Minanagkabau di berbagai kota di Indonesia, dengan penutur sekira 2,2 juta jiwa. Di Belanda ada 7.490, Singapura 15.720 jiwa, Negeri Sembilan 548.000 dan Makaysia 934.000 jiwa. (sumber Wikipedia)
Dengan fakta di atas, Bahasa Minangkabau (dan Mentawai) termasuk bahasa yang aman, tidak terancam punah. Dari 646 bahasa daerah, sebanyak 139 bahasa daerah terancam punah, 25 bahasa hampir punah, yakni Burumakok, Duriankere, Emplawas, Kaibobo, Kanum, Badi, Kayupulau, Kembra dan Kwerisa. Selain itu, bahasa Lengilu, Lolak, Melayu Bacan, Mandar, Massep, Mlap, Morori, Namla, Paulohi, Petjo, Ratahan, Salas, Taje, Tobati dan Woria.(cnnindonesia.com).
Dan 12 bahasa daerah sudah dinyatakan punah tersebut terdapat di Malauku dan Papua; yakni bahasa Hukumina, Kayeli, Liliali, Mapia, Moksela, Nakaela, Wila, Palumata, Piru, Tandia, Te’un, Tobada, dan bahasa Ternateno (sumber Beritagar.id/Kemendikbud).
Namun demikian, ada kecenderungan berkurangnya penutur bahasa Minangkabau karena: pertama, anak Minang yang lahir di Rantau (Ibu dan bapak Minang, ibu Minang bapak nonminang, dan ibu nonminang bapak Minang) tidak lagi/jarang berbahasa Minangkabau. Kedua, banyak anggota komunitas tak lagi menggunakan bahasa daerah di lingkungan keluarga. Salah satu faktor, para ibu tak lagi berbicara dengan anak-anak mereka dalam bahasa ibu di rumah. Anak-anak tak lagi biasa dan bisa menggunakan bahasa daerah. Anak-anak mereka yang berusia 5-25 tahun tidak bisa lagi menggunakan bahasa daerah.
Ketiga, tak ada pelajaran bahasa Minangkabau di bangku pendidikan dasar di Sumatera Barat. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat belum terpikir membuat kebiatan muatan lokal berupa pelajaran bahasa Minangkabau. Keempat, saampai sekarang tidak ada buku pelajaran bahasa Minanagkabau yang jadi acuan anak didik, dan perantau di berbagai kota di Indonesia dan dunia.
Dulu, media cetak (Singgalang dan Haluan ) memberi tempat terhadap karya berbahasa Minangkabau: Sekarang Padang Ekspres menyajikan Novel dalam bahasa Minang (Pacar Lamo karya Pinto Janir) dan karya jurnalistik berbahasa Minangkabau (laman Artis Minang). Sementara media massa lain seperti radio sangat terbatas menyampaikan informasi dalam bahasa Minangkabau.
Kekhawatiran sejumlah pihak terhadap akan berkurangnya penutur bahasa Minangkabau adalah karena tidak ada satu hari dalam seminggu, anak sekolah wajib berbahasa Minangkabau dan bahasa Mentawai dan menulis dalam bahasa Minangkabau dan bahasa Mentawai, seperti di Jawa Barat. Juga tidak ada pejabat yang berpidato dalam bahasa Minangkabau dan juga bahasa Mentawai.
Untuk menggugah rasa ingin tahu dan ingin belajar bahasa Minang bisa dilakukan, misalnya, bagaimana Bandara Internasional Minangkabau (BIM) sebaiknya memberikan informasi/pengumuman melalui pelantang suara dalam bahasa Minangkabau, selain bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Seperti di Bandara Adi Sutjipto, Yogya, yang memakai bahasa Jawa. Malah di Bandara International Dubai, Uni Emirat Arab, ada pengumuman dalam bahasa Jawa halus.
Kondisi lain adalah anak-anak muda/milenial malu berbahasa Minang. Lebih memilih bahasa gaul dan bahasa “campur aduk”; bahasa Indonesia dicampur bahasa Betawi, bahasa Indonesia dicampur bahasa gaul. Bahasa Indonesia dicampur bahasa Minang.
Kita berharap ke depan ada upaya pelestarian bahasa Minangkabau melalui karya sastra (puisi, novel, cerita pendek), kecuali teater/randai, rabab, saluang, selawat dulangb yang tetap memakai bahasa Minangkabau. Kalau bisa juga ada film berbahasa Minang. Film India maju dan produktivitasnya tinggi karena menggunakan bahasa daerah (ada sekira 40 bahasa). Jawa Barat dengan film berbahasa Sunda dengan judul Before, Now & Then (Nana), adalah film pertama bahasa daerah yang tembus Festival Film Berlin.
Film-film pendek dalam bahasa Minang hendaknya juga bisa menjadi medium untuk mengajarkan bahasa Minangkabau kepada khalayak. Yang bergerak di media sosial juga bisa membuat konten kreatif berbahasa Minangkabau.
Dulu di Universitas Andalas Padang ada Prodi Sastra Daerah, fokusnya masih sangat akademis, lebih kepada mengkaji teks. Belum praktik yang down to earth ke masyarakat. Sekarang entah bagaimana keberadaannya, saya belum sempat mencari tahu.
Fenomena Unik dengan Bahasa Mentawai
Saya sejak 30 tahun terakhir, berkali-kali mengunjungu Kabupaten Kepulauan Mentawai, daerah 3T, daerah terdepan Indonesiadi kawasan Samudera Hindia. Terakhir November 2021 dalam kaitannya menulis buku.
Terkait bahasa, saya menemukan fenomena menarik, di daerah yang kaya destinasi wisata berkelas dunia ini. Yaitu bahasa dalam keluarga, komunitas, adalah bahasa ibu, Bahasa Mentawai. Orang non-Mentawai yang lahir dan berusaha/bekerja di Mentawai, belajar bahasa Mentawai hingga fasih. Dan sebaliknya, ada juga orang Mentawai yang paham dan bisa berbahasa Minang. Sebenarnya buku khusus belajar bahasa Mentawai tak ada. Hanya karena intens berkomunikasi di lingkungan masyarakat.
Untuk menjaga kelestarian bahasa Mentawai, Balai Bahasa Sumatera Barat telah menerbitkan Kamus Bahasa Mentawai, selain menerbitkan Kamus Bahasa Minangkabau.
UU no 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pasal 42, Ayat 2 mengatakan; “Pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa daerah dilakukan bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah kooordinasi Lembaga Bahasa.”
Sekarang, mana bentuk kepedulian Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota terhadap bahasa daerah? Kenapa tidak membuat kurikulum lokal dalam bentuk pelajaran bahasa daerah, baik bahasa Minanagkabau mau[un bahasa Mentawai. Ketika di sekolah tak ada pelajaran bahasa Minangkabau dan bahasa Mentawai, kenapa tidak ada upaya inisiasi atau memfasilitasi penerbitan buku pelajaran bahasa Minangkabau dan bahasa Mentawai?
Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat sudah meneliti dan menerbitkan Kamus Bahasa Minangkabau dan Kamus Bahasa Mentawai. Untuk melestarikan bahasa daerah, sebaiknya dua kamus tersebut dicetak ulang dan diperbanyak, dibagikan ke setiap sekolah dan badan publik di Sumatera Barat.
Tingkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan bahasa daerah, caranya mungkin menggelar suatu acara, misal lomba berbalas pantun, lomba baca puisi bahasa Minangkabau dan bahasa Mentawai, Lomba cipta puisi bahasa Mentawai dan bahasa Minangkabau, lomba menulis buku berbahasa Minangkabau.
Kita berharap pemerintah memfasilitasi penerbitan dan peluncuran buku-buku dalam bahasa Minangkabau bahasa Mentawai. Baik buku ajar Bahasa Minangkabau maupun buku karya sastra dan pengetahuan adat dalam bahasa Minangkabau. Kemudian tingkatkan dukungan lembaga untuk pelatihan bagi penutur bahasa Minangkanau.
Perlu disadari, anak-anak yang tidak diajarkan bahasa daerah akan mengalami kesulitan ketika berinteraksi dengan orang lebih tua. "Karena tidak semua orang di wilayah tertentu menggunakan bahasa Indonesia, terutama (orang) yang berusia lanjut. Selain itu, bahasa daerah dengan berbagai tingkatannya, akan membuat anak belajar sopan santun dengan siapa mereka berbicara.(*)